Flexing kini sudah jadi bahasa sehari-hari. Pamer gaya hidup, mobil mewah, outfit branded, liburan ke luar negeri---semua terekam rapi di layar media sosial. Tapi, di balik itu, ada cerita yang tidak selalu seindah caption.
Media sosial membuka ruang tak terbatas untuk menunjukkan "siapa kita." Masalahnya, yang ditampilkan sering kali bukan "siapa kita sebenarnya," melainkan "siapa yang kita ingin orang lihat." Flexing menjadi jembatan antara realitas dan ilusi.
Ada yang pamer terang-terangan, sekadar memotret barang mahal atau makanan fancy. Ada juga yang memilih humble bragging, pura-pura merendah tapi sejatinya sedang menunjukkan pencapaian. Keduanya sama saja: butuh validasi.
Budaya flexing ini bukan hanya sekadar hiburan. Ia bisa jadi racun. Banyak orang rela berutang hanya demi terlihat mapan di timeline. Ada yang menggadaikan masa depan finansial demi sekadar "story" 15 detik.
Panggung flexing terbuka lebar karena media sosial kini menjadi bagian hidup sehari-hari. Hampir setiap orang memiliki ponsel dan akses internet, sehingga setiap konten glamor bisa dilihat oleh ribuan, bahkan jutaan mata.
Gen Z menjadi generasi yang paling terdampak. Mereka tumbuh dengan budaya digital, sehingga rasa insecure dan keinginan validasi lebih mudah dipicu oleh unggahan orang lain.
Fenomena ini makin berbahaya karena flexing mendorong masyarakat menjadi konsumtif. Banyak orang membeli barang di luar kemampuan hanya untuk menjaga citra digital.
Selain itu, flexing memengaruhi kesehatan mental. Terus-menerus membandingkan diri dengan kehidupan glamor orang lain bisa menimbulkan perasaan cemas, minder, dan frustrasi. Banyak orang muda merasa tertekan hanya karena tidak bisa meniru apa yang mereka lihat di timeline.
Jadi, flexing bukan sekadar konten. Ia bisa menciptakan kecemburuan sosial, memicu stres, bahkan mengganggu hubungan antar teman. Banyak yang akhirnya merasa tersisih atau terasing hanya karena tidak bisa mengikuti standar hidup di layar.
Fenomena ini semakin subur karena algoritma media sosial mendorong konten-konten visual yang memikat. Semakin heboh pamerannya, semakin besar kemungkinan konten itu viral. Flexing pun jadi komoditas: semakin ekstrem, semakin laku.