Bali adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Bali merupakan daerah yang terkenal akan budaya dan keindahan alamnya. Bali juga terkanal akan kearifan lokal yang membentuk identitas masyarakatnya. Di balik tatanan sosial, budaya, dan arsitektur yang khas pada kehidupan Masyarakat Bali, terdapat sebuah falsafah hidup yang menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan khsusnya agama Hindu yaitu Tri Hita Karana (THK). Secara harfiah, istilaah ini berarti “tiga penyebab kebahagiaan” atau “tiga sumber kesejahteraan hidup”. Masyarakat Bali percaya bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat tercapai apabila manusia mampu menjaga keseimbangan dan keharmonisan dalam tiga hubungan fundamental: hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan), hubungan manusia dengan sesama (pawongan), dan hubungan manusia dengan alam (palemahan).Kehadiran Tri Hita Karana bukan hanya sebagai pedoman spiritual bagi masyarakat Hindu, melainkan juga dalam prilaku atau kebiasaan keseharian masyarakat dalam kehidupannya. Nilai – nilai Tri Hita Karana tercermin dalam ritual keagamaan, etika sosial, pola interaksi, hingga asitektur tradisional Bali. Dalam tata ruang perumahan maupun perdesaan. Misalnya, masyarakat Bali tidak hanya mempertimbangkan aspek fungsi dan estetika, tetapi juga menempatkan ruang sesuai dengan kosmologi yang berakar pada prinsip Tri Hita Karana. Setiap bangunan, jalan, bahkan tata letak sawah memiliki makna filosofi yang mencerminkan upaya menjaga keseimbangan antara dimensi spiritual, sosial, dan ekologis. Inilah yang menjadikan arsitektur Bali begitu unik dan diminati oleh turis mancanegara. Bangunan itu tidak hanya sekedar membangun fisik tetapi juga membangun harmoni dalam setiap ornamen yang ditonjolkan.Pada perkembangan globalisasi dan modernisasi yang semakin pesat, nilai – nilai Tri Hita Karana menghadapi tantangan baru. Modernisasi arsitektur, gaya hidup yang lebih praktis atau biasa dikatakan instan, serta sistem pendidikan yang sering kali menekankan pada aspek kognitif tanpa melihat kelebihan dalam bidang non akademik sering kali menyebabkan kepudaran pada kearifan lokal. Oleh karena itu, menggali dan mengitegrasikan nilai – nilai Tri Hita Karana dalam tata ruang dan arsitektur Bali sangat penting untuk menjaga warisan serta identitas budaya yang telah ditinggalkan oleh leluhur kita. Sebagai penerus, sebaiknya kita belajar lebih dalam lagi mengenai kearifan lokal yang ada di Bali karena semakin hari kearifan lokal yang ada di Bali mulai memudar dan banyak pemuda yang tidak mau meneruskan. Bali memeliki peran penting untuk menjaga identitas budaya. Lebih jauh lagi, nilai – nilai ini juga memiliki relevansi besar untuk diterapkan dalam bidang pendidikan, khususnya dalam kurikulum dan praktik mengajar di sekolah. Pendidikan yang berbasis Tri Hita Karana bukan hanya berfokus pada pencapaian akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter dalam menghargai keberadaan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan dimana manusia beraktivitas.
Apabila dalam arsitektur Bali penerapan Tri Hita Karana diwujudkan dalam penataan ruang yang penuh akan simbol pada setiap segi bangunannya, maka dalam pendidikan nilai ini dapat diimplementasikan melalui integrasi ke dalam pembelajaran, kurikulum, dan aktivitas yang berlangsung di sekolah. Misalnya, sikap religius dan spiritual dapat dikuatkan dalam kegiatan prahyangan, kerja sama dalam kegiatan sosial melalui pawongan, dan kepedulian lingkungan melalui palemahan. Dengan demikian, penerapan Tri Hita Karana tidak terbatas pada konteks budaya maupun arsitektur, melainkan dapat berkembang menjadi fondasi bagi pendidikan karakter yang berkelanjutan. Adapun pemahaman nilai - nilai berdasarkan penerapan Tri Hita Karana dalam beberapa aspek, sebagai berikut.
1.Nilai – Nilai Tri Hita Karana dalam Tata Ruang
Arsitektur Bali merupakan wujud nyata dari perpaduan antara seni, budaya, agama, dan filosofi hidup. Keunikan arsitektur pada bangunan Bali tidak hanya dampak dari ornamen atau bentuk bangunan yang khas, tetapi juga dari konsep tata ruang yang didasari pada konsep Tri Hita Karana. Nilai – nilai tersebut membuat arsitektur Bali tidak sekedar menghadirkan keindahan dari segi penampilan atau visual, tetapi juga menekankan pada harmoni spiritiual, sosial, dan ekologis. Tri Hita Karana bukan hanya sebagai kerangka praktos dalam penataan ruang, melainkan juga filosofi yang menuntuk cara pandang masyarakat Bali terhadap keberadaan manusia di alam semesta. Arsitektur Bali memiliki makna dalam skala dan niskala.
Pandangan tersebut tidak hanya memandang arsitektur dari bidang seni saja, melainkan menia komunikasi spiritual. Adapun contoh dalam penerapan tata ruang tersebut, yaitu penempatan Pura di area hulu, tempat tinggal di tengah, serta lahan pertanian dibagian hilir. Pada ajaran Hindu itu dinamakan konsep Tri Mandala yaitu Utama Mandala, Madya Mandala, dan Nista Mandala. Dengan demikian, Tri Hita Karana tidak hanya memberi aturan teknis penataan ruang, tetapi juga menanamkan kesadaran bakwa setiap aktivitas manusia termasuk membangun rumah adalah bagian dari ibadah dan upaya menjaga keseimbangan alam.
Prinsip pelemahan menekankan bahwa ruang hidup manusia tidak boleh merusak alam. Misalnya, bangunan tradisional Bali menggunakan material alami seperti kayu, batu, dan tanah liat yang ramah lingkungan. Selain itu, konsep membuat bangunan di Bali khususnya yang beragama Hindu memperhatikan arah gunung, laut, dan angin menunjukkan keselarasan ekologis. Hal ini menjadi refleksi nyata bahwa menjaga alam bukanlah pilihan, melainkan kewajiban setiap manusia yang memiliki nalar untuk berpikir dan berprilaku.
2.Nilai – Nilai Tri Hita Karana dalam Kurikulum dan Pengajaran IPA di SMP
Selain mengimplementasikan dalam arsitektur Bali, nilai – nilai Tri Hita Karana juga sangat relevan atau sesuai untuk diintegrasikan dalam pendidikan. Kurikulum dan pratek pembelajaran di sekolah menjadi sarana strategis untuk menanamkan nilai – nilai yang terkandung dalam filosofi Tri Hita Karana untuk generasi muda atau penerus, sehingga mereka tidak hanya cerdas secara intelektual atau pengetahuan, tetapi juga memiliki karakter yang kuat dan peduli terhadap lingkungan dan sesama manusia.
Implementasi Tri Hita Karana pada pendidikan dapat dilakukan pada setiap mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Salah satu pelajaran yang bisa menerapkan konsep tersebut adalah pelajaran IPA. Pelajaran IPA khususnya di SMP sering kali dianggap hanya sebatas ilmu pengetahuan tentang alam. Padahal, jika dilihat dari segi konsep Tri Hita Karana, pengajaran IPA bisa menjadi sarana untuk membangun kesadaran spiritual, sosial, dan ekologis siswa. Berikut pengimplementasian konsep Tri Hita Karana pada pembelajaran IPA di SMP.
1)Prahyangan dalam Pembelajaran IPA
Dalam filosofi Tri Hita Karana, prahyangan menekankan hubungan manusia dengan Tuhan. Jika dikaitkan dengan pengajaran IPA di SMP dapat diwujudkan dengan cara menjelaskan kepada siswa bahwa setiap fenomena alam yang terjadi merupakan bagian dari ciptaan Tuhan. IPA tidak sekedar kumpulan rumus, definisi, dan teori semata, tetapi mencerminkan kebijaksanaan yang jauh lebih besar.
Contoh penerapan dalam proses pembelajaran yaitu, ketika guru menjelaskan tentang sistem tata surya. Guru tidak hanya membahas materi secara deskripsi ilmiah tetapi guru juga dapat mengajak siswa melihat keteraturan pergerakan benda langit sebagai sesuatu yang luar biasa. Fakta bahwa bumi berputar dengan kecepatan konstan tanpa membuat manusia serta isinya tidak terlempar. Melalui refleksi ini, siswa dilatih untuk tidak hanya mengagumi pengetahuan ilmiah, tetapi juga menumbuhkan rasa kagum dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengatur segalanya dengan sempurna.
Pembelajaran yang mengaitkan dengan filosofi Tri Hita Kirana tidak bermaksud mencampurkan agama ke dalam sains, melainkan mengarahkan siswa untuk menyadari ilmu pengetahuan dan spiritualitas dapat saling melengkapi. IPA menjelaskan bagaimana suatu fenomena terjadi, sementara nilai prahyangan mengajak siswa untuk merenungkan mengapa fenomena alam yang terjadi begitu indah dan memiliki makna yang berarti bagi keberlangsungan hidup makhluk hidup. Penerapan prahyangan tidak hanya bisa dilakukan pada meteri sistem tata surya tetapi juga bisa diterapkan pada setiap pembelajaran yang akan diberikan oleh guru.
2)Pawongan dalam Pembelajaran IPA
Nilai pawongan dalam Tri Hita Karana menekankan pentingnya hubungan yang harmonis antar sesama manusia. Dalam pemelajaran IPA di SMP, nilai ini dapat ditanamkan melalui kegiatan belajar yang menumbuhkan kerja sama, rasa saling menghargai, serta tanggung jawab bersama. IPA bukan hanya tentang memahami konsep ilmiah, tetapi juga tentang bagaimana pengetahuan itu dapat digunakan untuk membangun kebersamaan dan kepedulian sosial.
Contoh penerapan pada pembelajaran yaitu pada saat pembelajaran mengenai topik energi alternatif. Dalam proses pembelajaran guru membagi siswa ke dalam kelompok kecil untuk membuat alat sederhana seperti kincir angin mini atau panel surya sederhana menggunakan bahan bekas. Dalam proses mengerjakan, siswa perlu berdiskusi dengan teman kelompok, membagi tugas, saling membantu, dan menghargai ide dari setiap anggota. Dari kegiatan tersebut, mereka tidak hanya memahami ptinsip konversi energi, tetapi juga belajar bahwa keberhasilan kelompok bergantung pada kerja sama semua anggotanya.
Selain kegiatan di atas, nilai pawongan juga bisa muncul dalam bentuk diskusi kelas mengenai isu lingkungan, misalnya tentang polusi udara yang terjadi dilingkungan tempat tinggal atau pencemaran sungai oleh limbah pabrik dan sampah – sampah yang dibuang secara sembarangan. Guru bisa memberikan studi kasus dan meminta siswa mencari solusi bersama mengenai kasus yang diberikan oleh guru atau yang didapat oleh siswa. Dalam kegiatan tersebut, siswa belajar mendengarkan, mengkritisi dengan cara yang sopan, dan menghargai perbedaan pendapat. Proses pembelajaran demikian dapat menumb uhkan sikap demokratis sekaligus memperkuat rasa empati siswa.
Dengan demikian, penerapan pawongan dalam pembelajaran IPA di SMP bukan hanya soal memahami konsep alam, melainkan juga mengajarkan keterampilan sosial yang sangat penting. Melalui interaksi yang sehat dan produktif, siswa belajar bahwa sains dapat menjadi sarana membangun solidaritas, kerja sama, dan tanggung jawab bersama demi kebaikan lingkungan dan masyarakat.