Joko Tingkir -- Bagian 23: Dua Kabar, Dua Arah Angin
Alun-alun Panarukan masih menyimpan debu yang belum turun sepenuhnya. Rakyat berkerumun, wajah-wajah mereka campur aduk antara lega, kagum, dan heran. Seorang ibu tua mendekati Karebet, membawa kendi kecil berisi air. Tangannya bergetar saat menyodorkannya.
"Ndoro Senopati... terimalah. Air ini tak seberapa, tapi semoga bisa jadi pelepas dahaga."
Karebet menerima dengan senyum, meminum seteguk, lalu mengedarkan kendi itu kepada prajurit di belakangnya. Tindakan kecil itu membuat rakyat bersorak, seolah tembok pemisah antara penguasa dan wong cilik runtuh begitu saja.
Di pasar, para pedagang mulai berbisik-bisik. "Kalau begini caranya Demak memimpin, barangkali kita tak perlu lagi takut pada orang Jipang," ujar seorang penjual ikan. Bisikan itu menular, menjadi percakapan di warung-warung, di pinggir sungai, hingga di balai desa. Nama Karebet perlahan berubah dari asing menjadi akrab.
Namun, pada saat yang sama, angin lain berhembus ke arah Jipang. Seorang pengikut Jiongh yang selamat menunggang kuda tanpa henti, membawa kabar pahit itu kepada Arya Penangsang. Malam baru saja turun di Kadipaten Jipang saat utusan itu bersimpuh di hadapan sang adipati.
"Ndoro... Jiongh kalah. Ia dipermalukan di alun-alun. Senjatanya terlepas, rakyat Panarukan justru bersorak untuk Senopati Demak..."
Wajah Arya Penangsang seketika memerah, matanya menyala bagai bara. Ia menggenggam keris Kyai Setan Kober di pinggangnya, jari-jarinya menekan gagang pusaka itu seakan hendak melepaskan amarah yang menyesakkan.
"Anak bawang itu... Karebet!" desisnya dengan nada penuh bisa. "Berani mempermalukan orang Jipang di hadapan rakyat? Kalau ia ingin perang hati, maka akan kubalas dengan perang darah."
Di sekelilingnya, para pengikut setia menunduk. Mereka tahu, badai akan segera digerakkan dari Jipang. Kekalahan Jiongh hanyalah permulaan.