Lihat ke Halaman Asli

Tan Malako

Penganggur

Anatomy of an Explosion: Psikologi di Balik Teror Bom Bunuh Diri

Diperbarui: 24 Agustus 2025   18:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anatomy of an Explosion: (Sumber: Koleksi Pribadi) 

Tidak ada naluri yang lebih kuat dalam diri manusia selain keinginan untuk hidup. Bahkan ketika tubuhnya dipenuhi penyakit mematikan, ketika prognosis medis hanya memberi waktu hitungan bulan, manusia tetap menggenggam harapan. Mereka membeli waktu dengan kemoterapi, mencoba ramuan herbal, atau berdoa sepanjang malam, seolah hidup adalah satu-satunya pegangan terakhir. Naluri mempertahankan diri --- self-preservation instinct --- adalah perangkat biologis yang tidak bisa begitu saja dipadamkan oleh dogma, propaganda, atau janji surga. Karena itu, setiap kali narasi resmi mengumumkan bahwa seorang pria atau wanita, lengkap dengan foto hitam-putih dan potongan biografi singkat, "rela mati" demi keyakinannya, ada yang terasa tidak seimbang dalam logika psikologi.

Narasi bom bunuh diri selalu dikemas rapi. Ada cerita tentang proses radikalisasi yang katanya terjadi perlahan, tentang pembacaan literatur keagamaan yang disalahartikan, hingga janji akan surga yang membuat kematian tampak sebagai tiket keabadian. Media mengulang-ulang kisah ini sampai terdengar masuk akal, seolah-olah keinginan untuk mati bisa dimasukkan ke dalam pola yang terukur dan bisa dijelaskan secara sederhana. Namun, psikologi tidak pernah sesederhana itu. Dalam banyak kasus, manusia yang bahkan berada di ambang kehancuran --- miskin, terisolasi, atau dihina --- tetap mencari alasan untuk bertahan, untuk hidup sehari lagi.

Di titik ini, teori behavioral psychology dan social engineering menjadi relevan. Tindakan ekstrem seperti bom bunuh diri jarang, jika bukan mustahil, lahir dari kehendak bebas yang murni. Selalu ada rekayasa kondisi: pengasingan sosial yang sistematis, pengendalian informasi yang ketat, trauma masa lalu yang belum sembuh, atau bahkan ancaman langsung terhadap keluarga. Di sinilah dua eksperimen klasik psikologi sosial --- eksperimen Milgram dan Stanford Prison --- menjadi kunci untuk memahami manipulasi ini.

Eksperimen Milgram (1961) dilakukan untuk meneliti kepatuhan manusia terhadap otoritas. Peserta diminta memberikan "sengatan listrik" kepada orang lain setiap kali jawaban salah diberikan. Padahal, "korban" hanyalah aktor dan tidak benar-benar tersengat. Hasilnya mencengangkan: lebih dari 60% peserta tetap menekan tombol sengatan maksimal, bahkan ketika mendengar jeritan kesakitan. Pelajaran utamanya jelas --- di bawah tekanan otoritas, manusia bersedia melakukan hal-hal yang bertentangan dengan moralnya sendiri.

Eksperimen Stanford Prison (1971) yang dirancang Philip Zimbardo membawa pelajaran lain. Mahasiswa sukarelawan dibagi menjadi "tahanan" dan "penjaga" dalam simulasi penjara. Dalam waktu singkat, "penjaga" berubah menjadi sadis, sementara "tahanan" menjadi tunduk dan pasif. Eksperimen ini menunjukkan bahwa struktur sosial dan simbol otoritas mampu membentuk perilaku ekstrem tanpa harus memaksa secara langsung. Dalam konteks bom bunuh diri, mekanisme serupa mungkin bekerja: struktur yang mengasingkan, mengatur, dan memanipulasi mampu membuat seseorang kehilangan otonomi psikologis, hingga tubuhnya tidak lagi miliknya sendiri.

Namun, publik jarang diajak berpikir sejauh ini. Setiap kali ledakan terjadi, yang ditawarkan adalah kecepatan narasi. Tidak butuh waktu lama sampai polisi mengumumkan pelaku, lengkap dengan identitas, latar belakang, dan motiv. Media menayangkan potongan video, sering kali rekaman ulang yang buram, memperkuat kesan keaslian yang tidak pernah benar-benar diverifikasi. Dalam tempo singkat, kisahnya menjadi versi resmi yang hampir mustahil digugat. Di sini, realitas berhenti menjadi apa yang sungguh terjadi; ia berubah menjadi performa --- sebuah scripted trauma yang diproduksi dengan presisi dramaturgis.

Psikologi teror bekerja bukan pada peristiwa ledakan itu sendiri, melainkan pada pengulangan narasinya. Setiap kali berita itu disiarkan, ketakutan merembes ke ruang publik. Di balik rasa takut itu, lahir rasa aman semu terhadap institusi yang mengklaim mampu "mengendalikan ancaman". Pola ini identik dengan apa yang disebut Noam Chomsky sebagai manufacturing consent: menciptakan situasi di mana publik rela menerima apa pun yang dikatakan penguasa, karena mereka telah diyakinkan bahwa ancaman selalu mengintai.

Konsep false flag menjadi relevan di sini. False flag operations adalah operasi yang sengaja direkayasa untuk menciptakan ilusi bahwa sebuah serangan dilakukan oleh pihak tertentu, padahal sebenarnya digagas atau difasilitasi oleh pihak lain. Sejarah mencatat banyak kasus. Reichstag Fire pada 1933 adalah contoh paling terkenal. Gedung parlemen Jerman dibakar, dan Nazi menuduh kaum komunis sebagai pelakunya. Hasilnya, Adolf Hitler mendapat dalih untuk memberlakukan Reichstag Fire Decree, yang menghapus banyak kebebasan sipil dan membuka jalan bagi kediktatorannya. 

Contoh lain adalah rencana Operation Northwoods pada awal 1960-an. Dokumen yang kini terungkap menunjukkan bahwa militer Amerika pernah mengusulkan serangkaian serangan teror palsu, termasuk menenggelamkan kapal atau menembak pesawat sipil, kemudian menyalahkan Kuba untuk membenarkan invasi. Rencana itu tidak pernah dilaksanakan, tetapi fakta bahwa ia pernah disusun secara resmi menunjukkan bahwa rekayasa teror bukanlah teori konspirasi, melainkan strategi geopolitik yang nyata.

Dari sudut pandang psikoanalisis, keinginan untuk hidup tidak hilang begitu saja. Bahkan jika seseorang berada dalam tekanan luar biasa, ketidakmampuan melihat alternatif membuat kematian tampak seperti satu-satunya jalan keluar, bukan pilihan bebas. Jika benar ada pelaku yang meledakkan dirinya, besar kemungkinan ia lebih mirip korban daripada aktor yang sadar sepenuhnya. Korban dari sistem yang lebih besar, korban dari manipulasi yang tidak kasat mata, korban dari konstruksi simbolik yang menjadikan tubuhnya sebagai alat propaganda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline