Lihat ke Halaman Asli

Tan Malako

Penganggur

Dari Legitimasi Elektoral Menuju Koordinasi Teritorial: Wacana Alternatif Penunjukan Gubernur oleh Presiden

Diperbarui: 8 Agustus 2025   13:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Election Fraud (Kredit: Ann Stroemel Johnson/Pinterest) 

Dalam konsepsi demokrasi elektoral, pemilihan kepala daerah secara langsung sering dianggap sebagai perwujudan dari prinsip kedaulatan rakyat (popular sovereignty). Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pemilihan langsung kepala daerah di Indonesia, khususnya untuk jabatan gubernur, justru menyisakan sejumlah problem struktural yang patut dievaluasi secara kritis.

Realitas empiris membuktikan bahwa tingkat literasi politik (political literacy) masyarakat masih jauh dari ideal. Porsi kelompok yang memiliki political reasoning yang baik relatif kecil dibandingkan total populasi pemilih. Sebaliknya, sebagian besar pemilih justru didorong oleh faktor-faktor emosional, identitas lokal, loyalitas primordial, atau bahkan praktik transaksionalitas politik. Fenomena ini berujung pada dominasi uninformed voters yang membuat kualitas pemilu tidak selalu berkorelasi positif dengan kualitas pemimpin yang terpilih.

Kecenderungan ini diperparah oleh fakta bahwa sebagian besar masyarakat pada dasarnya tidak terlalu peduli dengan kontestasi politik di tingkat daerah. Yang lebih mereka butuhkan adalah terpenuhinya kebutuhan dasar, seperti stabilitas harga pangan, akses layanan kesehatan, pendidikan, serta lapangan kerja yang layak. Selama aspek-aspek kesejahteraan tersebut tersedia, masyarakat cenderung bersikap apatis terhadap dinamika politik lokal maupun nasional.

Dengan demikian, keterlibatan masyarakat secara luas dalam pemilihan kepala daerah—terutama untuk posisi setingkat gubernur—sering kali justru menghasilkan policy distortion. Pemimpin yang terpilih lebih banyak didorong oleh kepentingan pragmatis jangka pendek, bukan atas dasar kapabilitas, integritas, atau visi pembangunan jangka panjang.

Jika dianalisis dari aspek tata kelola pemerintahan (governance), posisi gubernur sejatinya memiliki peran strategis sebagai pejabat yang membantu tugas eksekutif tingkat pusat dalam dimensi kewilayahan. Gubernur mengelola wilayah administratif yang luas dan berfungsi sebagai jembatan antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Dalam struktur birokrasi, menteri merupakan pembantu presiden di bidang sektoral, sedangkan gubernur adalah pembantu presiden dalam cakupan teritorial. Dengan kata lain, gubernur memegang fungsi administratif sebagai pengelola wilayah yang bertugas memastikan kebijakan nasional dapat diimplementasikan secara efektif di provinsi yang dipimpinnya.

Namun, dengan mekanisme pemilihan langsung, relasi antara gubernur dan presiden kerap kali mengalami disonansi politik. Gubernur merasa memiliki legitimasi elektoral sendiri, sehingga tak jarang muncul ketegangan antara kepala daerah dengan pemerintah pusat. Hal ini menimbulkan dualism of authority yang pada akhirnya berdampak pada disharmoni koordinasi pemerintahan.

Salah satu dampak paling nyata dari pemilihan kepala daerah secara langsung adalah tingginya cost of election. Penyelenggaraan pilkada menuntut pembiayaan yang besar, baik dari sisi negara maupun dari kandidat yang berkontestasi. Negara harus menyediakan anggaran miliaran rupiah untuk setiap penyelenggaraan pilkada gubernur, sedangkan kandidat mengeluarkan dana pribadi atau dana kolektif politik yang sangat besar untuk kampanye, logistik, hingga penggalangan suara.

Kondisi ini memicu fenomena political rent seeking, di mana kandidat yang terpilih merasa perlu mengembalikan modal politiknya melalui berbagai cara, mulai dari penerbitan izin proyek, perizinan tambang, penyalahgunaan anggaran, hingga jual beli jabatan. Korupsi di tingkat lokal pun menjadi praktik yang hampir struktural.

Jika mekanisme penunjukan gubernur oleh presiden diberlakukan, problem political financing dapat diminimalisasi secara signifikan. Negara tidak perlu mengalokasikan anggaran besar untuk penyelenggaraan pilkada gubernur, dan kandidat tidak perlu membangun jaringan patronase untuk mengamankan dukungan politik. Anggaran tersebut dapat dialihkan untuk program pembangunan atau penguatan pelayanan publik yang lebih produktif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline