Marhaban Ya Ramadan...
Hari pertama umat muslim menjalankan ibadah puasa dan ibadah lainnya terlaksana seharian penuh. Begitupun kami yang sedikit perpeluh akibat proses adaptasi di hunian baru yang kami tempati. Belum seminggu saya dan suami resmi berdomisili di Planet Bekasi. Ndilalah, yang dalam bahasa Indonesianya berarti kebetulan momentumnya pas menjelang Ramadan kami pindah. Meski secara informal, sejatinya kami sudah bolak balik di sekitaran Jabodetabek dalam rentang waktu satu bulan terakhir.
Singkat kata, kami pun menghuni sebuah kontrakan nan amat sangat sederhana di Bekasi Barat. Semua serba minimalis. Dari budget pindahan yang sarat cerita, hingga perkakas rumah tangga yang bisa kami bawa. Beruntung kami punya tetangga baru yang super duper baik. Dia meminjamkan beberapa perkakas vital yang membuat kami merasa nyaman menempati hunian mungil kami. Ditambah lagi pemilik kontrakan tersebut orangnya baik. Bahkan memberikan harga diskon yang bagi saya cukup meringankan.
Malam sahur pertama pun tiba. Alat pemanas air listrik berbahan stainless steel berukuran sedang telah saya beli, tepat sehari sebelum puasa tiba. Lumayan, alat ini multi fungsi, selain sebagai "ceret" untum merebus air bakal bikin kopi dan teh, ini alat bisa juga jadi panci darurat. Bisa digunakna untuk merebus sayuran, atau membuat telur rebus. Dari budget minimalis yang ada saya sempat berbelanja persediaan layaknya kebanyakan orang menyambut datangnya puasa. Telur asin matang, abon, kentang kering mix teri dan kacang yang diolah menjadi lauk instan, kurma dan pisang. Lumayanlah untuk menu sahur pembuka ala penghuni baru di kota satelit penyangga Ibukota.
Lagi-lagi saya seperti ingin membuat perjanjian dengan tetangga yang baik hati.
"Sssstttt...ssssttt ...sssttttt kita barteran yuk" begitu bisik saya kepadanya
Dan sahur pertama kemarin malam terasa begitu nikmat saat kami menyantap nasi, sayur sop, dan tempe goreng hangat masakan tetangga. Mau tahu saya barter dengan apa? Ahahhaahha, Rahasia dong ya.
Suasana Ramadan tahun ini benar-benar terasa minimalis bagi kami. Namun itu semua tidak kemudian membuat kami pesimis. Ramadan terasa begitu indahnya, saat kondisi saat ini menjadi apa adanya. Ditambah lagi memiliki tetangga yang baik hati pula, tempat dimana kita bisa saling berbagi, nilai persaudaraan menjadi lebih dimata kami.
Saat berbuka puasa di hari pertama tiba, perjanjian barter masih tetap saya berlakukan. Menu takjil untuk berbuka yang sederhana menjadi alat tukar bagi saya agar saat sahur kedua malam ini saya kembali bisa menikmati hangatnya nasi tanpa harus melangkah jauh membelinya di warung terdekat. Ini bukan menyoal harga dalam hitungan rupiah semata, melainkan sebuah ukhuwah yang tak ternilai harganya. Terlebih kami berasal dari daerah dan suku yang berbeda. Ah, Ramadan di Indonesia terasa begitu nikmatnya.
Ya, ramadan tahun ini khusuk berpuasa, menambah kualitas ibadah sepanjang hari hingga malam berganti pagi tentu menjadi harapan bagi semua. Begitupun kami, yang kini tengah beradaptasi. Selain menjadikan ibadah yang menyertai puasa sebagai prioritas, kiranya banyak harapan terbersit. Ketika sebagian besar masyarakat bersuka cita menyambut puasa dengan kerja hingga hari Raya tiba. Kami pun sama, berharap bisa beribadaj sembari bekerja, begitupun sebaliknya bekerja sebagai bagian dari cara kita beribadah.
Sungguh, tak muluk-muluk kami gantungkan sebuah harapan pada ramadan, bulan seribu kebaikan. Semoga ukhuwah islamiyah senantiasa terjaga di lingkup terkecil kita. Berawal dari tetangga, lintas komunitas agama hingga lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti cerita Ramadan saya dan tetangga. Dari hal-hal minimalis yang melingkupi bukan berarti kita tidak bisa menjaga optimisme yang maksimalis. Optimis terhadap kesehatan, optimis terhadap pekerjaan, optimis terhadap rejeki yang mengandung keberkahan. Terlebih saat nuansa Ramadan karim mendukung semesta dan para penghuni yang meyakini Islam Rahmatalil Alamin untuk melakukan kebaikan.