Lihat ke Halaman Asli

Syaiful Anwar

Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Gaji UMR-Gaya Hidup Sultan. Bisa!

Diperbarui: 5 Oktober 2025   10:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Gaji UMR, Gaya Hidup Sultan: Studi Kasus Dompet yang Selalu Lapar

Mari kita buka dengan sebuah pertanyaan sederhana tapi menyakitkan:
Kenapa gaji selalu habis padahal belum tanggal tua?
Jawabannya, anak muda zaman now bisa menghemat apa saja---kecuali gaya hidup.

Setiap kali saya masuk kafe, saya merasa sedang menghadiri seminar ekonomi modern: ada yang sedang investasi dalam "aesthetic", ada yang diversifikasi aset lewat "OOTD", dan ada pula yang melakukan cash flow management dengan paylater---alias ngutang gaya baru. Di meja sebelah, seorang anak muda berujar lantang, "Hidup cuma sekali, Prof!"
Saya hampir menyahut, "Iya, dan cicilanmu juga bakal terasa sekali."

Fenomena "Gaji UMR, Gaya Sultan" ini sesungguhnya adalah drama makroekonomi yang dikemas dalam filter Instagram.
Generasi sekarang punya kemampuan luar biasa: bisa menampilkan kesejahteraan tanpa benar-benar memilikinya. Dulu, kita pamer tanah; sekarang, pamer voucher cashback.
Ironinya, semakin sering seseorang berteriak "financial freedom", biasanya justru semakin dalam terjerat dalam algoritma belanja impulsif.

Secara teori perilaku, ini disebut hedonic treadmill---treadmill yang tidak membakar lemak, tapi membakar saldo.
Begitu penghasilan naik sedikit, keinginan langsung naik dua tingkat.
Gaji naik 10%, lifestyle upgrade 20%.
Akhirnya, tabungan tetap nol koma nol nol harapan.
Sungguh efisien, bukan?

Tapi jangan buru-buru menyalahkan anak muda.
Kita hidup di era kapitalisme emosi---di mana kebahagiaan dijual lewat notifikasi diskon, dan harga diri diukur dari jumlah "likes."
Masalahnya, algoritma tidak peduli apakah kamu punya tabungan darurat atau cuma darurat tiap akhir bulan.

Solusinya?
Sederhana, tapi sulit seperti diet di musim lebaran: kenali ilusi kebutuhan.
Kalau suatu barang tidak bisa meningkatkan kualitas tidurmu, kebahagiaanmu, atau hubunganmu dengan sesama manusia---kemungkinan besar itu hanya dekorasi ego.
Boleh bergaya, tapi jangan sampai gaya hidupmu lebih kaya dari isi rekeningmu.
Karena ujung-ujungnya, bukan gaji yang kurang---ekspektasi yang kebanyakan.

Jadi, wahai para pejuang dompet kronis lapar, mari kita kembalikan makna sederhana dari hidup produktif: bukan siapa yang paling banyak belanja, tapi siapa yang paling lama bisa bertahan tanpa drama.
Ingat, di dunia ekonomi modern, yang paling kaya bukan yang punya saldo paling tebal, tapi yang paling tenang melihat saldo menipis tanpa panik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline