Pernahkah Anda sadar bahwa kecerdasan buatan alias Artificial Intelligence (AI) kini lebih setia menemani kita daripada teman arisan? Pagi-pagi, sebelum kopi sempat mendarat di meja, algoritma di ponsel sudah lebih dulu tahu bahwa Anda butuh "diskon deterjen 30%". Bayangkan, AI lebih perhatian daripada pasangan Anda yang bahkan lupa ulang tahun pernikahan.
Fenomena ini memang menggelikan. Kita dulu menganggap AI itu monster di film Hollywood---robot dingin dengan mata merah yang siap menguasai dunia. Nyatanya, wujudnya justru berupa aplikasi receh: filter yang bikin wajah kita mulus kayak porselen atau chatbot yang bisa disuruh bikin pantun cinta ala kasir Indomaret. Jadi, kalau kata anak muda, "AI itu nggak serem, malah receh tapi nagih."
Tapi jangan salah, di balik recehnya, dampaknya serius. AI mengubah cara kita belanja, makan, bahkan cari jodoh. Aplikasi kencan kini pakai algoritma lebih pintar daripada guru BP zaman dulu yang suka jodoh-jodohin murid. AI juga bikin pola konsumsi makin instan: orang lebih percaya rekomendasi mesin daripada nasehat ibu. Kalau mesin bilang "makan burger," ya kita makan burger, meski kolesterol sudah naik.
Dalam teori ekonomi industri, Joseph Schumpeter dulu bicara soal creative destruction. Nah, AI ini contoh paling aktual: menciptakan yang baru sambil menggusur yang lama. Kasihan, profesi juru ketik sudah punah, disusul staf administrasi yang tergantikan template otomatis. Tapi jangan sedih, lahirlah profesi baru: AI prompt engineer. Kerjanya? Ya cuma ngetik "tolong bikinkan puisi tentang kucing galau." Honorarium? Jangan tanya, kadang lebih mahal daripada dosen senior.
Masalahnya, AI bukan hanya soal efisiensi. Ini juga soal ketimpangan. Perusahaan besar punya server segede gunung, data segudang, dan modal setinggi langit. Sementara UMKM cuma bisa main aplikasi gratisan yang kadang error pas lagi butuh. Akhirnya, kita semua jadi konsumen setia algoritma asing. Ironis, bangsa yang katanya kreatif malah sibuk jadi penonton di panggung AI global.
Jadi, solusinya? Kita perlu literasi digital. Bukan sekadar bisa bikin caption Instagram, tapi juga paham bagaimana data kita diperas halus tiap detik. Pemerintah juga jangan cuma bikin wacana "strategi AI nasional" yang isinya seminar dan baliho. Yang dibutuhkan itu ekosistem nyata: riset lokal, kurikulum digital sejak sekolah, dan dukungan bagi inovasi kampung halaman.
Saya, sebagai ekonom muda udah lewat tapi belum mau disebut tua, yang sudah kenyang menghadiri rapat anggaran (dan tahu betapa seringnya anggaran itu tersesat entah ke mana), hanya bisa bilang: AI itu ibarat listrik abad lalu. Kalau tak segera kita kuasai, ya kita cuma jadi pelanggan, bukan produsen.
Maka, mari kita berhenti kagum pada AI yang bisa bikin foto wajah kita glowing dalam 3 detik. Itu receh. Yang lebih penting: bagaimana kita bisa bikin AI yang ngerti urusan padi, sawah, dan harga cabai. Karena jujur saja, sehebat-hebatnya ChatGPT, ia tetap belum bisa menurunkan harga beras di pasar. Itu, saudara-saudara, masih pekerjaan rumah manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI