Lihat ke Halaman Asli

Syaiful Anwar

Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Membaca Ulang Proklamasi : Makna yang Terkubur dalam Kata-Kata Soekarno

Diperbarui: 11 Agustus 2025   11:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia..."

Dua kalimat. Empat puluh enam kata. Dan satu dunia yang berguncang.

Kata-kata yang Menciptakan Dunia

Pada pagi yang belum sepenuhnya terang, 17 Agustus 1945, di sebuah rumah sederhana di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, sebuah teks pendek dibacakan tanpa upacara kenegaraan, tanpa mikrofon resmi, bahkan tanpa satu pun lambang negara. Namun dari teks yang terdiri dari dua kalimat itu, lahirlah Republik Indonesia.

Bagi sebagian orang, Proklamasi hanya bagian dari pelajaran sejarah --- dihafalkan, dibacakan ulang tiap tahun, kemudian dilupakan. Tapi bagi saya, sebagai seorang pengkaji bahasa dan semiotika, teks ini adalah artefak linguistik dan politik yang layak dibedah seperti puisi Chairil Anwar atau pidato Churchill. Ia tidak hanya menyatakan kemerdekaan; ia menyembunyikan pergulatan sejarah, dan mengandung makna yang masih hidup hingga hari ini.

Malam Sebelum Kemerdekaan: Perdebatan di Tengah Bayang Pendudukan

Kita tidak bisa memahami kedalaman makna teks Proklamasi tanpa kembali ke malam 16 Agustus 1945, ketika ketegangan mencapai puncaknya. Sehari sebelumnya, Sukarno dan Hatta "diculik" oleh para pemuda ke Rengasdengklok. Tujuannya sederhana tapi mendesak: mendeklarasikan kemerdekaan tanpa campur tangan Jepang.

Setelah perdebatan sengit, kedua tokoh ini kembali ke Jakarta dan menuju rumah Laksamana Maeda. Di situlah naskah Proklamasi mulai disusun --- bukan di istana, bukan oleh panitia resmi, tetapi di sebuah ruang tamu seorang perwira Angkatan Laut Jepang yang diam-diam bersimpati pada kemerdekaan Indonesia.

Para pemuda sempat mengusulkan naskah yang lebih keras: menyebut penjajahan Jepang, menggunakan istilah revolusi, dan menghapus nada kompromi. Tapi Sukarno dan Hatta berpikir jauh ke depan. Mereka memilih kata-kata yang tidak hanya kuat secara politis, tetapi taktis secara semiotik. Teks yang kita kenal hari ini adalah hasil kompromi antara semangat revolusi dan kalkulasi kebahasaan yang sangat presisi.

Analisis Linguistik: Kalimat yang Menyulap Realitas

Mari kita baca kembali kalimat pertama:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline