Lihat ke Halaman Asli

Syahrul Chelsky

TERVERIFIKASI

Roman Poetican

"100 Tula Para Kay Stella", Seratus Puisi untuk Sebuah Patah Hati yang Panjang

Diperbarui: 7 Oktober 2025   12:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Poster film 100 Tula Para Kay Stella. (Sumber: Viva Films via ampersart.com)

“Some days we are Poets, other days we are Poems.”

Menonton 100 Tula Para Kay Stella --atau 100 Puisi untuk Stella, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia--tidak terasa seperti menonton sebuah film. Rasanya justru lebih dekat dengan membuka sebuah buku catatan tua yang penuh coretan: ada kata-kata yang digoreskan terburu-buru di pojok halaman, ada bait yang disesali, dan ada pengakuan yang tidak pernah sampai pada orang yang dituju.

Film rilisan tahun 2017 ini, dengan segala kesederhanaannya, tidak mengejar keagungan visual. Ia hanya berjalan dengan tenang, seperti seseorang yang duduk di kamar kos, menyalakan lampu seadanya, lalu mencoba menuliskan sesuatu yang bisa menyelamatkan hatinya dari kesepian.

Disutradarai oleh Jason Paul Laxamana, film ini mengisahkan pemuda bernama Fidel, seorang mahasiswa keperawatan, ia jatuh cinta pada Stella, gadis penyanyi kafe dengan suara serak dan wajah nan cantik jelita. Dari semester pertama sampai akhir kuliah, Fidel menulis seratus tula--puisi-puisi kecil--untuk Stella. Tapi setiap bait dan setiap halaman, hanya menjadi rentetan cara untuk menunda.

Fidel si pengecut itu tak lebih dari seseorang yang selalu berdiri di depan pintu, tapi tak pernah punya keberanian untuk mengetuk. Di antara dua insan muda itu ada pesta kecil, ada konser, dan ada tawa. Namun, selalu ada jarak yang tak bisa ditembus. Pada akhirnya, cinta yang begitu setia itu tidak menemukan rumahnya.

Kekuatan film ini bukan pada kebaruan cerita, melainkan pada cara ia membiarkan "yang tak terucapkan" berbicara lebih nyaring daripada percakapan. Di sepanjang film, puisi-puisi Fidel hadir sebagai monolog patah hati yang tak berkesudahan. Untaian puisi yang ditulis dengan sederhana, canggung, bahkan kadang berlebihan, seperti cinta pertama yang memang begitu sifatnya. Ada kejujuran getir yang membuatnya sulit untuk ditertawakan sekaligus sulit untuk tidak ikut tenggelam.

Akting JC Santos sebagai Fidel terasa organik; ia tidak pernah memaksa air mata, tapi setiap kebisuannya memantul lebih keras daripada teriakan. Bela Padilla sebagai Stella juga tidak pernah dibuat sebagai dewi yang tak tersentuh. Ia labil, penuh keraguan, dan terkadang terasa kejam karena ketidaksadarannya. Justru ketidaksempurnaan itu yang membuat Stella begitu manusiawi.

Ada momen dalam film ini ketika Fidel membaca puisinya: Kung kaya ko lang ipilit, matagal na kitang minahal. (Kalau saja aku bisa memaksa, sudah lama aku mencintaimu). Kalimat ini, bila dibaca sekilas, tampak sederhana. Namun di situlah inti film berdiam; tentang cinta yang hidup di dalam diri seseorang tanpa pernah benar-benar lahir. Tentang janin perasaan yang gagal menemukan udara.

Film yang berasal dari negara Filipina ini juga menarik karena keberaniannya menyajikan puisi, yang bukan hanya sebagai ornamen, tetapi sebagai tulang belakang narasi. Banyak film mencoba menyelipkan bait hanya untuk terlihat artistik, tetapi 100 Tula Para Kay Stella justru menjadikan puisi sebagai ruang untuk bernapas. Setiap bait adalah selokan kecil yang menampung banjir emosi Fidel. Kadang keruh, kadang jernih, tapi selalu mengalir.

Namun, ada kelemahan yang sulit diabaikan. Ritmenya kadang terasa terlalu menunggu. Ada bagian film yang seakan berputar-putar dalam lingkaran yang sama: Fidel menulis, Stella bercahaya, lalu jarak tetap tidak berubah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline