Dalam catatan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, Islam bukan hanya menjadi agama mayoritas, tetapi juga sumber inspirasi yang melandasi semangat pembebasan dari penjajahan. Para tokoh Islam tidak hanya berperan sebagai pemuka agama, melainkan juga pemikir, organisator, dan pejuang yang menjembatani aspirasi rakyat dengan cita-cita nasionalisme. Dalam konteks ini, Islam tampil sebagai kekuatan moral dan sosial yang menyatu dalam narasi kebangsaan.
Konsep nasionalisme Islam merujuk pada kesadaran kebangsaan yang berakar dari nilai-nilai Islam, seperti keadilan, kemerdekaan, dan persaudaraan umat manusia (ukhuwah insaniyyah). Nasionalisme ini bukanlah antitesis dari kebangsaan sekuler, melainkan bentuk keimanan yang mewujud dalam perjuangan konkret melawan kolonialisme. Dalam pandangan ini, umat Islam tidak merasa cukup hanya dengan berdoa; mereka merasa wajib berjuang untuk membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah.
Salah satu tokoh sentral adalah KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Ia mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, yang menghalalkan perlawanan terhadap penjajah sebagai bentuk bela negara. Resolusi ini menjadi fondasi moral yang menggerakkan rakyat, terutama di Surabaya, dalam peristiwa 10 November. KH Hasyim menegaskan bahwa cinta tanah air (hubbul wathan minal iman) adalah bagian dari iman, membingkai nasionalisme dalam nilai-nilai keislaman yang kokoh.
Tokoh kedua yang tak bisa dilepaskan adalah HOS Tjokroaminoto, pendiri Sarekat Islam. Ia adalah pelopor nasionalisme modern yang merangkul Islam sebagai kekuatan pembebasan rakyat. Di bawah kepemimpinannya, Sarekat Islam menjadi organisasi rakyat terbesar di awal abad ke-20, menggabungkan semangat religius dengan tuntutan sosial-politik. Tjokroaminoto juga dikenal sebagai "guru bangsa", karena dari rumahnya lahir para tokoh besar seperti Soekarno, Kartosuwiryo, dan Semaoen yang berbeda pilihan politiknya.
Tokoh ketiga ialah KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Ia menanamkan kesadaran modernisme Islam yang rasional dan berorientasi pada kemajuan pendidikan. Melalui jaringan sekolah Muhammadiyah, umat Islam didorong untuk berpikir kritis, mandiri, dan berdaya saing. Bagi Ahmad Dahlan, Islam adalah kekuatan transformasi sosial yang harus hadir dalam pembangunan bangsa, bukan sekadar ritual.
Menurut Indonesianis asal Belanda, B.W.R. Wertheim, dalam bukunya Indonesian Society in Transition, Sarekat Islam adalah pelopor nasionalisme rakyat karena mengorganisir massa pribumi secara sistematis. Ia mencatat bahwa kekuatan Islam bukan hanya dalam jumlah, tapi dalam kapasitasnya membentuk kesadaran kolektif untuk merdeka. Islam menjadi alat mobilisasi yang efektif karena dekat dengan denyut kehidupan rakyat jelata.
Kedekatan Soekarno dengan Tjokroaminoto bukan hanya kebetulan sejarah. Dalam biografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat, Soekarno mengaku banyak belajar dari HOS Tjokroaminoto tentang pentingnya "merakyat" dan menjadikan Islam bukan sebagai sekat, tapi jembatan perjuangan. Dari Tjokroaminoto-lah Soekarno memahami bagaimana agama dan kebangsaan bisa bersatu dalam satu tarikan napas perjuangan.
Implikasi positif dari relasi historis ini adalah terbangunnya kohesivitas antara Islam dan Indonesia modern. Islam tidak menjadi kekuatan antagonistik terhadap negara, melainkan justru menjadi fondasi etika publik dan modal sosial yang memperkuat kebhinekaan. Ketika umat Islam menyadari bahwa Indonesia adalah rumah besar yang wajib dijaga, maka nasionalisme mereka menjadi lebih substantif.
Tiga learning point penting dapat dipetik dari kontribusi Islam dalam perjuangan kemerdekaan. Pertama, Islam menyediakan etika perjuangan yang memperkuat moralitas gerakan rakyat. Kedua, Islam memperkuat struktur sosial melalui organisasi seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad dan Sarekat Islam serta lainnya yang berperan sebagai penggerak rakyat. Ketiga, Islam membentuk kaderisasi kepemimpinan nasional dengan nilai-nilai integritas, keberanian, dan keteladanan.
Sayangnya, dalam narasi sejarah arus utama, kontribusi tokoh-tokoh Islam ini sering direduksi atau hanya disebut sepintas. Dalam semangat rekonsiliasi sejarah, penting untuk menempatkan kembali posisi Islam sebagai bagian integral dari lahirnya Republik. Ini bukan untuk menggantikan narasi kebangsaan, tapi memperkaya dan melengkapinya dengan sisi spiritual dan moral yang kuat.