Lihat ke Halaman Asli

Sunan Amiruddin D Falah

TERVERIFIKASI

Staf Administrasi

Konsumen "Rabun"

Diperbarui: 1 Desember 2022   14:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Bulan November tahun 2020 saya membeli logam mulia seberat 0,25 gram dan 0,1 gram seharga Rp327.000,00 dan Rp110.000,00 dengan kemasan yang menarik. Di bulan berikutnya saya membeli lagi logam mulia seberat 0,1 gram seharga Rp110.000,00. Sedikit demi sedikit saya mulai menabung dengan program tabungan logam mulia. Saya memilih logam mulia berdasar informasi yang pernah saya terima bahwa logam mulia merupakan investasi yang cukup menguntungkan.   

Setahun kemudian, pada Desember 2021 logam mulia yang beratnya tidak bertambah karena program menabung yang gagal, hendak saya jual. Pemasukkan bulanan yang tidak mencukupi di akhir tahun itu membuat logam mulia yang tersimpan harus saya relakan.

Dengan melihat harga emas yang cenderung sedang stabil saya berharap logam mulia yang akan saya jual, dihargai minimal setara dengan harga beli. Tetapi malang, harga jualnya tidak sesuai dengan ekspektasi. Logam mulia dengan total harga Rp527.000,00 itu hanya dibayar sebesar Rp370.000,00.

Salah satu alasan yang diulang-ulang oleh toko emasnya mengapa harga logam mulia saya dibayar jauh lebih rendah dari harga beli adalah kemasannya. Disebutkan bahwa biaya kemasan sebagus itu terbilang mahal. Sehingga dengan bahasa lain pembeli atau konsumenlah yang menanggung biaya kemasannya. Mau untung saya malah buntung.  

Zaman now jargon pembeli adalah raja sepertinya tidak layak lagi disematkan. Hal ini mengingat beberapa kali layanan, kenyamanan, jaminan atau lainnya yang harusnya saya terima sebagai pembeli atau konsumen seringkali tidak saya dapatkan.

Bahkan bukan saja tentang semua itu, pembeli atau konsumen di era masa kini cenderung menanggung semua biaya tetek bengek. Sebut saja ketika makan di restoran, belanja kebutuhan di supermarket atau beberapa produk dan jasa lainnya, konsumenlah yang menanggung biaya PPNnya.

Konon itu memang sudah ada sejak dulu kala sesuai dengan aturan di undang-undang. Tetapi realitanya tidak hanya sebatas PPN. Di beberapa tempat dan beberapa transaksi, konsumen bahkan menanggung biaya pelayanan yang seharusnya hal tersebut menjadi tanggung jawab penjual atau produsen.

Sebut saja misalnya, biaya toilet sebesar Rp2.000,00 yang belum lama viral ketika menteri BUMN, Erick Tohir singgah di satu toilet sebuah pom bensin. Biaya toilet yang seharusnya sudah termasuk bagian dari layanan penjual BBM itu, ditanggung oleh konsumen. Atau pernahkah kita tetap membayar Rp2.000,00 untuk urusan buang air kecil atau besar  di salah satu pusat perbelanjaan yang terbilang modern dengan segala kelebihannya?

Contoh lainnya adalah biaya parkir yang tetap harus ditanggung oleh konsumen saat berbelanja di beberapa mini market meskipun ada informasi bahwa mini market telah membayar biaya parkir ke pemerintah daerah.

Seperti yang dinyatakan oleh seorang Regional Corporate Communication Manager salah satu mini market dengan brand ternama dalam menanggapi maraknya  juru parkir liar yang menarik biaya parkir dari mini marketnya. Katanya, "Kami ingin memberikan kenyamanan ke konsumen. Sebab, kita sudah melakukan pembayaran ke pemerintah daerah. Kita inginnya semua parkir-parkir di toko kami itu gratis,"

Belum lagi ketika konsumen pada era digital sekarang melakukan transaksi lewat aplikasi. Tidak terhitung komplain para konsumen terkait produk dan jasa yang tidak sesuai dengan apa yang diiklankan. Sulitnya mencari kepuasan bagi konsumen tidak sebanding dengan efektifitas dan efisiensi teknologi bertransaksi yang disajikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline