Bayangkan Anda membeli mie instan di warung. Harga satu bungkus sekarang Rp4.000, padahal dulu masih Rp2.500. Pertanyaan sederhana muncul: apakah biaya membuat mie benar-benar naik setinggi itu? Atau ada faktor lain?
Jawabannya ada pada istilah ekonomi yang jarang kita dengar sehari-hari, yaitu markup. Markup adalah selisih antara harga jual dan biaya produksi. Misalnya, kalau biaya membuat satu bungkus mie Rp1.500 lalu dijual Rp4.000, berarti markup-nya Rp2.500. Nah, penelitian terbaru di Amerika Serikat menemukan bahwa markup barang-barang konsumen naik rata-rata 30 persen antara tahun 2006 hingga 2019. Artinya, perusahaan makin pintar mengambil untung lebih besar dari konsumen, meski biaya produksi sebenarnya tidak naik banyak.
Kenapa Markup Bisa Naik?
Ada dua penyebab utama menurut penelitian itu.
Pertama, biaya produksi justru menurun. Teknologi produksi semakin canggih, distribusi semakin efisien, sehingga biaya membuat barang jadi lebih murah. Tapi anehnya, harga barang tidak otomatis ikut turun. Perusahaan tetap mempertahankan harga, bahkan menaikkannya sedikit demi sedikit. Selisih inilah yang membuat markup membengkak.
Kedua, konsumen makin cuek soal harga. Kalau dulu orang rela muter-muter ke beberapa toko demi mendapat harga termurah, sekarang banyak orang lebih memilih kenyamanan. Belanja online misalnya, lebih cepat dan praktis meskipun ongkosnya lebih mahal. Kupon diskon yang dulu populer di Amerika menurun penggunaannya hingga 50 persen, dan waktu yang dihabiskan orang untuk berbelanja turun sekitar 20 persen. Artinya, konsumen makin malas repot hanya untuk selisih harga kecil.
Dampak bagi Konsumen
Menariknya, penelitian itu juga menemukan bahwa meskipun markup naik, kesejahteraan konsumen (consumer surplus) tetap meningkat. Kok bisa?
Sederhananya, barang-barang yang ditawarkan semakin banyak pilihannya dan kualitasnya meningkat. Jadi meski lebih mahal, konsumen merasa masih diuntungkan. Tapi masalahnya, yang paling menikmati keuntungan ini adalah konsumen kaya. Mereka tidak keberatan bayar lebih mahal, bahkan senang dengan produk premium. Sedangkan konsumen menengah ke bawah harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk barang yang sama.
Penelitian itu menghitung, seandainya markup tetap di level tahun 2006, maka uang belanja konsumen pada 2019 bisa lebih hemat hingga 18 persen. Bayangkan kalau Anda setiap bulan belanja Rp2 juta, berarti ada potensi Rp360 ribu yang bisa dihemat jika markup tidak meningkat sebesar itu. Uang segitu bisa untuk tambahan kuota internet, bensin, atau bahkan tabungan.
Contoh Sehari-hari di Indonesia
Fenomena markup bukan hanya milik Amerika. Di Indonesia, kita bisa melihat contoh nyata.
- Air minum dalam kemasan. Biaya produksi satu botol air mungkin hanya ratusan rupiah. Tapi kita membayar Rp3.000–Rp5.000 di minimarket.
- Pulsa dan paket data. Infrastruktur operator mungkin sudah efisien, tapi harga paket tidak selalu turun. Sebaliknya, promosi “paket murah” seringkali hanya ilusi karena ada syarat tersembunyi.
- Makanan siap saji. Harga burger di restoran cepat saji bisa Rp30 ribu, padahal biaya bahan dasarnya jauh lebih rendah. Yang kita bayar lebih banyak adalah kenyamanan, merek, dan gengsi.
Semua contoh ini menunjukkan bagaimana perusahaan bisa menaikkan markup karena tahu konsumen tidak terlalu peduli dengan harga.