Lihat ke Halaman Asli

Ummi Azzura Wijana

TERVERIFIKASI

Music freak

Cundrik, Kisah Pelarian Orang-orang Majapahit

Diperbarui: 29 April 2025   14:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel Cundrik karya Budi Sardjono. Dokpri.

Dalam Novel Cundrik: Kisah Pelarian Orang-orang Majapahit, Budi Sardjono mengangkat momen krusial dalam sejarah Nusantara: transisi kekuasaan dari kerajaan Hindu-Buddha terakhir, Majapahit, menuju era Islam di bawah Kesultanan Demak. Namun alih-alih hanya merekam ulang fakta sejarah, penulis menyulam kisah ini dengan unsur mistik, mitologi Jawa, serta tokoh fiktif yang menggugah pertanyaan tentang identitas, perlawanan, dan kekuasaan.

 

Latar Historis dan Imaji Fiksi yang Kuat

Berlatar pada ekspansi militer Demak di bawah kepemimpinan Raden Patah untuk menaklukkan wilayah-wilayah yang masih berada dalam pengaruh Majapahit, novel ini membuka babak sejarah dengan sentuhan spekulatif. Majapahit, yang dipimpin oleh Raja Brawijaya V, digambarkan bukan sebagai kerajaan kuat dan utuh, melainkan sebagai entitas yang sudah rapuh akibat konflik internal dan perang saudara. Ketika Demak datang untuk menaklukkan, mereka tak lagi menemukan kerajaan besar, melainkan puing-puing yang tercerai-berai.

Di tengah situasi inilah muncul tokoh sentral yang unik dan kompleks: Putri Wandasari atau Dayang Kuning, yang diduga adalah Nyai Jayeng Sayekti---seorang perempuan mistis yang muncul dalam berbagai wujud, dari prajurit tangguh hingga nenek bijak, dari Dayang Biru hingga penjaga Bondan Kejawan. Keberadaan Jayeng Sayekti menjelma menjadi poros narasi yang menghubungkan banyak fragmen sejarah dan spiritualitas Jawa, termasuk legenda Dewi Kili Suci, Kerajaan Kahuripan, dan Gunung Pegat.

 

Representasi Tokoh Perempuan dalam Ruang Sejarah

Salah satu kekuatan utama novel ini adalah bagaimana Budi Sardjono memberikan ruang besar bagi tokoh perempuan untuk tampil bukan hanya sebagai pelengkap narasi laki-laki, tetapi sebagai agen perubahan dan simbol kekuatan. Jayeng Sayekti adalah metafora bagi kekuatan arwah perempuan yang tidak tunduk kepada kuasa kerajaan atau agama, melainkan setia kepada nilai-nilai spiritual, leluhur, dan penjaga warisan budaya.

Jayeng Sayekti tidak hanya berperan sebagai pelindung tokoh penting seperti Bondan Kejawa; putra raja dari selir Dayang Kuning; tetapi juga sebagai representasi kontinuitas nilai-nilai kejawen yang tak mudah ditaklukkan. Senjata yang digunakannya, cundrik, bukan sekadar keris kecil, melainkan lambang ketajaman intuisi, ketegasan batin, dan kekuatan tersembunyi.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline