Lihat ke Halaman Asli

Sultani

TERVERIFIKASI

Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Inilah 4 Motif Demo Pasca HUT RI ke-80

Diperbarui: 2 September 2025   20:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi aksi unjuk rasa memprotes kebijakan yang menguntungkan anggota DPR (Sumber: Detik.com)

Demo besar pasca peringatan kemerdekaan ke-80 bukan hanya peristiwa politik biasa, melainkan sebuah tontonan sosial yang sarat makna. Ribuan orang turun ke jalan dengan semangat menyuarakan keresahan, namun di balik kerumunan itu, terselip agenda-agenda lain yang jauh lebih licik. Indikatornya jelas: mobilisasi massa secara serentak untuk bertindak anarkis, provokatif, dan kriminal (menjarah rumah pejabat negara).

Bagaimana mengidentifikasi motif di balik aksi massa yang ditengarai telah menyimpang dari agenda utama: menyampaikan aspirasi rakyat.

1. Ditunggangi: Antara Aspirasi dan Manipulasi

Ilustrasi demonstrasi yang rawan ditunggangi oleh kepentingan politik (Sumber: Kompas.com)

Gerakan rakyat yang mestinya murni, perlahan ditunggangi oleh kepentingan politik yang terorganisir dengan baik. Tuntutan rakyat yang awalnya sederhana dan jelas (turunkan tunjangan DPR) berubah menjadi  narasi provokatif yang seragam, tanda ada orkestrasi di balik layar.

Fenomena ini bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Setiap kali ada momentum kebijakan yang kontroversial, selalu ada pihak-pihak yang lihai memanfaatkan energi sosial menjadi bahan bakar politik. Mereka mengemas kemarahan rakyat dalam narasi yang tampak heroik, namun sejatinya diarahkan pada tujuan pragmatis: menggoyang legitimasi atau memperkuat posisi tawar kelompok tertentu. Akibatnya, suara rakyat bercampur aduk dengan kepentingan elite.

Di level akar rumput, massa seringkali tidak menyadari bahwa langkah mereka sudah menjadi bagian dari skenario besar. Mereka marah karena harga sembako, frustrasi karena pengangguran, kecewa pada layanan publik atau kebijakan yang tidak pro rakyat, tetapi kemudian menemukan diri mereka berada di barisan demo yang membawa tuntutan politis yang jauh dari masalah harian mereka. Ada ironi yang mencolok: kesedihan dan amarah pribadi rakyat dijadikan bahan bakar untuk ambisi elite.

Kondisi ini memunculkan keraguan publik. Apakah demo itu sungguh mewakili aspirasi rakyat atau sekadar pertunjukan politik yang ditata rapi? Di satu sisi, masyarakat butuh ruang untuk bersuara. Di sisi lain, ruang itu seringkali dibajak, sehingga substansi yang murni menjadi kabur. Tidak heran jika kemudian banyak orang merasa apatis terhadap demonstrasi, karena menganggapnya sudah tidak autentik lagi.

Ketika demo ditunggangi, yang muncul bukan lagi gerakan sosial organik, melainkan panggung propaganda. Aspirasi rakyat menjadi latar belakang, sementara aktor politiklah yang memainkan peran utama. Dan pada titik ini, demokrasi justru kehilangan kemurniannya, bergeser dari partisipasi rakyat menjadi strategi manipulasi.

2. Perang Narasi: Media, Medsos, dan Rebutan Persepsi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline