Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Rindu Masa Kecil, yang Berubah dan Tak Berubah

Diperbarui: 16 April 2021   18:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

growol - makanan khas kulon progo - m.solopos.com

Kalau urusan rindu-merindu, rasanya hanya masa kecil yang perlu dirindukan. Sebab pada masa itu kita tidak berpikir panjang. Sehari-hari yang ada hanya bermain, dan menghabiskan waktu untuk bermain. Lain tidak.

Kebanyakan anak masa itu kebiasaannya tidak berbeda. Kecuali mungkin keluarga tertentu. Misal keluarga pedagang, atau pemilik toko. Atau, keluarga guru dan pesantren. Terlebih keluarga dengan jumlah anak yang banyak. Mana sempat mengurusi mereka dengan hal-hal yang dimaksudkan untuk menghadapi masa depan.

Kembali ke soal rindu. Dulu, bulan Ramadan berarti libur sekolah. Sebulan penuh. Karena tinggal di desa, maka suasana liburan jelas terasa. Yaitu, lebih leluasa bermain. Tidak harus pulang untuk makan siang. Pulang ke rumah juga bisa lebih sore, jelang maghrib.

Itulah salah satu kenangan masa kecil penulis. Tinggal, pada sebuah kota kecamatan. Waktu itu, akhir tahun pertengahan 1960 hingga tahun 1970.  

*

Ampel, Boyolali. Di kaki Gunung Merbabu, di jalur jalan Solo -- Semarang, udara sejuk dan suasana tenang. Masih banyak pohon buah-buahan di pematang, juga di pagar dari lahan dengan pemilik berbeda, dan sisi kanan-kiri jalan setapak.

Sambil berjalan ketika pulang dari lapangan sepakbola, atau dari memancing, bisa mengumpulkan buah-buahan itu. Jambu batu, sirsak, mangga, dan ada pula jagung maupun ubi.  Ya, tentu itu tanaman orang. Sambil memetik biasanya bilang dulu, "Minta ya, Pak. Maaf, ambil sendiri ya. . . .!" Entah di mana pula pemiliknya.

Siang hari aneka buah-buahan itu terasa sangat enak-menyegarkan. Apalagi siang terik, keringat bercucuran. Dan ketika dibawa ke rumah, dan saat bedug maghrib riuh di bunyikan (saat itu penanda berbuah masih berupa bedug), hilang selera memakannya. Ya, pasti saja. Sebab buah-buah itu belum matang benar. Masih kecut, asem. Ada bahkan yang belum matang. Mungkin dua atau tiga hari baru enak dimakan.

*

Malam hari, untuk salat tarawih ke masjid jaraknya lumayan jauh. Jalanan pun masih gelap tanpa penerangan memadai. Sementara rumah-rumah warga saling berjauhan. Jadi, kendalanya lumayan berat.

Ada tempat-tempat tertentu yang terkenal angker. Misal, di awah rumpun bambu, di atas jembatan, di sisi sungai, dan di bawah pohon beringin. Ceritanya dari mulut ke mulut saja. Entah kebenarannya. Tetapi dasar masih kanak-kanak, ketakutan saja yang ada. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline