Di tengah derasnya arus media sosial, TikTok telah menjadi panggung utama bagi ekspresi diri generasi muda. Namun, tidak semua ekspresi bersifat apa adanya. Salah satu tren yang paling mencolok adalah fenomena "flexing", atau dalam bahasa sederhana: pamer kekayaan. Istilah flexing berasal dari kata kerja bahasa Inggris to flex, yang berarti menunjukkan atau memamerkan sesuatu dengan tujuan menarik perhatian. Di TikTok, budaya ini berkembang menjadi tren di mana para pengguna baik influencer maupun pengguna biasa secara sadar menampilkan harta benda, gaya hidup mewah, hingga status sosial mereka kepada publik.
Apa bentuknya? Flexing bisa berupa video saldo rekening yang fantastis, koleksi barang branded seperti tas dan sepatu, rumah mewah, kendaraan mahal, atau bahkan gaya hidup yang tampak "sempurna" seperti makan di restoran bintang lima, liburan ke luar negeri, atau membeli barang mahal sebagai "reward diri". Namun di balik gemerlapnya, budaya ini memunculkan sejumlah pertanyaan mendasar: Apakah semua ini asli? Apakah pamer kekayaan menjadi standar baru untuk diakui di ruang digital? Menurut banyak pengamat sosial, budaya flexing tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh dari kombinasi antara kebutuhan akan validasi sosial, tekanan algoritma platform, dan standar kebahagiaan palsu yang dibentuk oleh media. TikTok, sebagai platform berbasis visual dan hiburan cepat, mendorong konten viral yang menarik perhatian dan sayangnya, flexing termasuk salah satunya.
Bagi sebagian orang, konten flexing mungkin menjadi motivasi. Tapi bagi sebagian lainnya, ini justru menjadi sumber tekanan. Banyak pengguna merasa rendah diri karena tidak bisa "seglamor" orang lain. Bahkan ada yang rela berutang atau berpura-pura demi bisa terlihat "wah" di dunia maya. Lebih jauh, budaya ini perlahan menggeser makna keberhasilan yang dulunya diukur dari kerja keras dan nilai, menjadi sekadar citra visual yang bisa dipoles dan direkayasa. Inilah yang membuat budaya flexing dipandang sebagai bagian dari krisis identitas sosial digital.
Namun tidak semua flexing negatif. Ada juga yang membagikan keberhasilan sebagai bentuk inspirasi atau dokumentasi perjalanan hidup. Di sinilah pentingnya niat dan cara penyampaian, serta kesadaran audiens dalam menafsirkan konten. Menghadapi fenomena ini, yang paling dibutuhkan adalah literasi digital yang kuat. Kita perlu membekali diri, terutama generasi muda, dengan kemampuan menyaring informasi, membedakan antara realitas dan pencitraan, serta membangun kepercayaan diri tanpa harus membandingkan hidup dengan orang lain di layar ponsel. Platform digital seperti TikTok juga diharapkan lebih bijak dalam mengatur algoritma agar tidak hanya mempromosikan konten hedonis, tetapi juga edukatif dan reflektif.
Pelaku utama budaya flexing yaitu generasi muda, terutama Gen Z dan milenial. Generasi muda, khususnya Gen Z dan milenial, adalah pengguna paling aktif media sosial seperti TikTok dan Instagram. Mereka cenderung terbuka terhadap tren digital dan memiliki kebutuhan tinggi terhadap eksistensi sosial. Budaya flexing muncul sebagai bagian dari cara mereka mengekspresikan diri dan membangun citra di dunia maya.
Budaya ini mulai popular sejak pandemi COVID-19, ketika penggunaan media sosial meningkat drastis. Katadata Insight Center (2021) Pandemi membuat aktivitas sosial dan hiburan beralih ke ruang digital. Hal ini menyebabkan lonjakan konsumsi konten dan penciptaan tren baru, termasuk budaya flexing. Orang-orang mulai menggunakan media sosial sebagai pelarian, sekaligus panggung untuk menunjukkan gaya hidup.
Budaya flexing paling banyak ditemukan di platform TikTok, Instagram, dan YouTube. Data Statista (2023) TikTok, dengan fitur video pendek dan algoritma yang mendorong konten viral, menjadi ladang subur bagi budaya flexing. Instagram dan YouTube juga menjadi platform pilihan karena visualisasi konten sangat kuat.
Orang melakukan flexing untuk mendapat pengakuan sosial, validasi, dan daya tarik digital seperti likes dan followers. Wijayanti, L. (2024). Flexing menjadi alat pencitraan yang digunakan demi status sosial digital. Dalam ekosistem media sosial yang mengukur "nilai" seseorang dari engagement, orang terdorong menampilkan sisi paling mewah dan sukses dari hidup mereka, meskipun kadang tidak mencerminkan kenyataan.
Tinjauan lapangan dan observasi konten TikTok Indonesia, 2024. Cara orang melakukan flexing dengan membuat konten visual yang menunjukkan kekayaan, disertai narasi sukses dan glamor. Konten flexing biasanya dikemas dengan visual yang mencolok, backsound musik populer, serta caption atau narasi yang mengisyaratkan kesuksesan. Beberapa juga menggunakan tren atau challenge tertentu agar lebih mudah viral.
Karena pada akhirnya, media sosial hanyalah satu bagian kecil dari kenyataan. Kekayaan sejati bukanlah tentang berapa banyak yang bisa dipamerkan, tapi tentang seberapa besar dampak positif yang bisa diberikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI