Lihat ke Halaman Asli

SISKA ARTATI

TERVERIFIKASI

Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

"Rindu" Membuatku Termehek-mehek (Resensi)

Diperbarui: 27 Oktober 2020   08:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

instagram.com/bukurepublika

Judul Buku: RINDU
Penulis: Tere Liye
Penerbit : Republika
Tahun terbit : Oktober 2014
Jumlah Halaman: 544

Sebuah novel best seller yang mengisahkan tentang perjalanan kehidupan manusia yang disertai dengan pertanyaan-pertanyaan, telah dua kali saya baca. Tetap saja menyematkan rasa trenyuh dan perenungan mendalam atas cerita para tokoh yang sedemikian apik disajikan oleh penulis.

Kisah tentang masa lalu yang memilukan. Tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi. Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang kisah sejati. Tentang kemunafikan. Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan.

Berlatar belakang masa Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1938, menceritakan perjalanan BLITAR HOLLAND, sebuah kapal uap kargo terbesar di zaman itu yang tidak saja mengangkut komoditi perdagangan, namun juga mengangkut penumpang dengan tujuan amat khusus, yaitu berhaji menuju Makkah. Ya, kapal ini berlayar mengelilingi hampir seluruh dunia.

Bermula dari Pelabuhan Makassar dan singgah di Surabaya, Semarang, Batavia, Lampung, Bengkulu, Padang, 'Serambi Makkah' Aceh hingga tiba di Jeddah. Itu pun tak sekedar mengangkut penumpang biasa maupun jamaah. Disana ada tokoh-tokoh yang dimunculkan penulis dengan sangat kuat dan menjadi sentra kisah tentang RINDU.

Daeng Andipati - pedagang sukses di Kota Makassar. Masih muda, kaya raya, pintar dan baik hati. Ia bersekolah di Rotterdam School of Commerce. Melakukan perjalanan di kapal tersebut bersama istri, dua anak gadisnya, Elsa (15 tahun) dan Anna (9 tahun), serta Bibi Ijah, pembantu rumah yang ikut membantu sepanjang perjalanan.

Ahmad Karaeng - semua penduduk Makassar hingga Pare-Pare lebih mengenalnya dengan sebutan Gurutta. Ia merupakan ulama masyhur di zaman itu. Usinya 75 tahun. Kemana-mana menggunakan sorban putih, kemeja polos, celana kain bersahaja, dan terompah kayu. Setiap bulannya ia mengisi pengajian di Gowa, sembilan kilometer dari Makassar. Penduduk menyukai ceramahnya, karena saat menyampaikan nasehat agama, suaranya terdengar lembut nan bertenaga, lantang nan jernih.

Ambo Ule - pemuda berusia dua puluh tahun lebih. Rahang dan pipinya tegas, khas seorang pelaut Bugis yang tangguh. Tatapan matanya tajam. Ada bekas luka dikeningnya. 

Tingginya layaknya rata-rata penduduk lokal, tapi tubuhnya kekar dan gagah, dibungkus dengan kulit hitam legam karena sering terbakar sinar matahari. Dua pekan sebelumnya, ia meninggalkan pekerjaannya di kapal lain. Dengan bekal pengalaman kerja sebagai pelaut, mengantarkan dirinya melamar kerja di kapal uap ini dengan satu alasan: pergi sejauh mungkin. Semakin jauh kapal ini pergi, semakin baik bagi dirinya.

Hanya ada dua hal yang bisa membuat seorang pelaut tangguh berhenti bekerja di tempat yang dia sukai, lantas memutuskan pergi naik kapal apapun yang bisa membawa sejauh mungkin ke ujung dunia. Satu karena kebencian yang amat besar, satu lagi karena rasa cinta yang sangat dalam.

Bonda Upe - seorang keturunan etnis tionghoa, berusia empat puluh tahun-an. Kulitnya putih, parasnya cantik. Ia mengenakan kerudung berwarna cerah dalam keseharian di kapal. Bekal pengalaman mengajar mengaji di pesantren di Kota Palu, mengantarkan dirinya menjadi guru mengaji bagi anak-anak selama perjalanan ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline