Birokrasi yang lamban dan berbelit telah lama menjadi sorotan dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa perubahan besar harus segera dilakukan agar pelayanan publik menjadi lebih cepat, efisien, dan tidak membebani masyarakat.
Menurutnya, aparatur sipil negara (ASN) memiliki peran yang tidak mudah dalam memastikan pelayanan tetap berjalan optimal, meskipun dihadapkan pada berbagai keterbatasan, termasuk pemangkasan anggaran yang semakin ketat.
Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto membawa perubahan besar bagi birokrasi Indonesia. Salah satu aspek yang menjadi sorotan adalah resistensi dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh kebijakan ini.
Presiden Prabowo menyebut adanya kelompok 'raja kecil' di birokrasi, oknum ASN dan pejabat yang selama ini menikmati berbagai proyek tanpa manfaat yang jelas. Penghematan anggaran yang menyasar belanja seremonial, perjalanan dinas, studi banding, publikasi, serta seminar, diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk memastikan bahwa dana negara benar-benar digunakan secara efektif dan tepat sasaran.
Namun, perubahan ini tidak terjadi tanpa tantangan. Di satu sisi, efisiensi anggaran memang diperlukan untuk meningkatkan efektivitas penggunaan dana negara, tetapi di sisi lain, kebijakan ini juga menimbulkan dampak psikologis dan struktural bagi ASN.
Banyak ASN yang terbiasa dengan sistem birokrasi lama merasa kehilangan 'kenyamanan' mereka. Pemangkasan anggaran berarti berkurangnya berbagai fasilitas, pengurangan insentif perjalanan dinas, hingga pembatasan kegiatan yang sebelumnya menjadi rutinitas.
Hal ini menimbulkan resistensi, terutama dari ASN yang selama ini bergantung pada anggaran-anggaran non-produktif untuk menjalankan pekerjaan mereka.
Tantangan dan Resistensi dalam Birokrasi
Resistensi terhadap kebijakan ini tidak selalu muncul dalam bentuk penolakan eksplisit. Banyak ASN yang merespons perubahan ini dengan cara yang lebih subtil, misalnya dengan menurunnya inisiatif dan produktivitas kerja. Fenomena ini terjadi bukan karena beban kerja mereka meningkat, melainkan karena struktur birokrasi yang dulunya kompleks mulai disederhanakan. Pekerjaan yang sebelumnya membutuhkan proses panjang dan keterlibatan banyak pihak kini bisa diselesaikan dalam waktu yang lebih singkat, terutama dengan bantuan teknologi digital. Dalam kondisi ini, sebagian ASN justru mengalami apa yang bisa disebut sebagai "kehilangan peran". Mereka merasa bahwa tugas yang dulu membutuhkan waktu berhari-hari kini dapat diselesaikan dalam hitungan jam, bahkan menit. Hal ini menciptakan perasaan tidak dibutuhkan atau kehilangan otoritas dalam proses birokrasi. Padahal, tujuan utama dari efisiensi anggaran bukan untuk menghilangkan peran ASN, tetapi untuk memastikan bahwa mereka dapat bekerja dengan lebih efektif dan berorientasi pada hasil, bukan hanya pada prosedur.
Selain itu, resistensi juga datang dari ASN yang selama ini mengandalkan perjalanan dinas, seminar, dan kegiatan seremonial sebagai bagian dari rutinitas kerja mereka. Dalam banyak kasus, kegiatan seperti ini tidak hanya berfungsi sebagai ajang koordinasi dan peningkatan kapasitas, tetapi juga sebagai peluang untuk mendapatkan tambahan tunjangan. Dengan adanya pemangkasan anggaran di sektor ini, banyak ASN merasa kehilangan kesempatan untuk berkontribusi, padahal masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk tetap aktif dan produktif. Salah satu tantangan terbesar dalam menghadapi perubahan ini adalah mengubah pola pikir ASN agar tidak lagi melihat perjalanan dinas dan kegiatan seremonial sebagai satu-satunya indikator kinerja mereka.