Lihat ke Halaman Asli

Desak Putu Sri Shania Aprilia

Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Menakar Peluang dan Tantangan Penerimaan Pajak Atas Layanan Over The Top (OTT) Asing di Indonesia

Diperbarui: 31 Agustus 2025   15:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mendorong transformasi ekonomi global menuju digitalisasi. Dalam era digital yang semakin berkembang pesat, penggunaan internet telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Dengan populasi yang mencapai 284,4 juta jiwa pada tahun 2025, penggunaan internet semakin masif dan menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat.

Meutya Hafid yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Digital menjelaskan bahwa sebanyak 221 juta jiwa atau setara 79,5 persen masyarakat Indonesia terhubung ke internet (Ahmad, 2025). Hal ini menjadikan Indonesia jadi salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia. Berdasarkan data terbaru perusahaan riset We Are Social, situs web yang paling banyak dikunjungi oleh masyarakat Indonesia didominasi oleh platform pencarian, media sosial, serta layanan berbasis streaming. 

Istilah OTT telah diterapkan pada banyak produk dan layanan lain yang mengalirkan konten ke pengguna menggunakan internet sebagai pengganti infrastruktur yang sudah ada sebelumnya (layanan televisi kabel, layanan keuangan, layanan seluler) (K.C. Karnes, 2025).  Kini, OTT telah berevolusi dengan memproduksi konten-konten unik seperti serial web atau film orisinal yang hanya tayang eksklusif di masing-masing platform (Parameswari, 2022). Tren ini menunjukkan bahwa konsumsi layanan OTT di Indonesia terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah pengguna internet yang semakin mengandalkan layanan digital dalam kehidupan sehari-hari.   

Popularitas layanan OTT ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial bagi perusahaan digital asing, termasuk perusahaan OTT global. Hal ini tidak hanya mencerminkan perubahan pola konsumsi media masyarakat, tetapi juga membuka peluang ekonomi yang signifikan, baik dari sisi investasi asing maupun potensi pendapatan negara.

Berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh Allied Market Research, pasar OTT di Indonesia tercatat sebesar $870,35 juta pada tahun 2020 dan diperkirakan akan mencapai $16,38 miliar pada tahun 2030, dengan Compound Annual Growth Rate (CAGR) sebesar 31,3% dari tahun 2022 hingga 2031.[4]   Besarnya pasar dan tingginya konsumsi layanan OTT di Indonesia menghadirkan peluang strategis bagi penerimaan negara. Jika dioptimalkan, pajak dari perusahaan OTT asing dapat menjadi sumber baru penerimaan, sekaligus memperkuat basis pajak di sektor digital yang pertumbuhannya jauh melampaui sektor tradisional. 

Namun, peluang besar tersebut juga dibayangi sejumlah tantangan. Pertama, tantangan hukum berupa keterbatasan regulasi domestik yang belum sepenuhnya mengatur kewajiban PPh bagi OTT asing. Kedua, tantangan administratif terkait kesulitan pelacakan transaksi lintas batas yang sifatnya digital dan tidak berwujud. Ketiga, tantangan politik dan diplomatik karena pemajakan OTT asing membutuhkan koordinasi internasional, sementara tiap negara memiliki rezim pajak berbeda. Selain itu, ada pula risiko ekonomi berupa potensi pengalihan beban pajak kepada konsumen yang dapat memengaruhi daya beli masyarakat.

Upaya untuk merespons pertumbuhan layanan OTT di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak beberapa tahun lalu. Pada akhir bulan Maret 2016, publik disuguhkan Surat Edaran No. 3 Tahun 2016 yang dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.  Penyedia OTT dapat berbentuk individu yang merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) atau badan usaha yang beroperasi di Indonesia, baik yang memiliki badan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

Hingga saat ini aturan hukum di Indonesia belum secara tegas mengatur penyedia layanan OTT asing untuk mendirikan dan mendaftarkan diri sebagai BUT. Hal ini menyebabkan Perusahaan asing dapat tetap beroperasi dan meraup keuntungan dari pasar Indonesia tanpa dikenakan kewajiban perpajakan yang setara dengan badan usaha dalam negeri. 

Tanpa kewajiban pendirian BUT, perusahaan digital asing yang menyediakan layanan OTT di Indonesia hanya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi digitalnya, sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 60/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Sementara itu, mereka tidak memiliki kewajiban untuk membayar Pajak Penghasilan (PPh) Badan seperti perusahaan dalam negeri yang memiliki status BUT.

Undang-Undang yang berlaku saat ini hanya mengatur pajak digital yang timbul dari transaksi perdagangan elektronik. Padahal, banyak layanan lainnya mencakup penyiaran, telekomunikasi, hingga permainan digital. Jika Indonesia ingin mengoptimalkan penerimaan pajaknya dari sektor digital, maka diperlukan revisi regulasi yang lebih tegas terkait kewajiban pendirian BUT bagi penyedia layanan OTT asing yang memperoleh keuntungan dari pasar Indonesia. Oleh karena itu, menarik untuk menilik bagaimana negara-negara lain mengatur ekosistem OTT mereka, termasuk dalam hal regulasi dan pemungutan pajak atas layanan digital ini.

Misalnya, di Australia dan Inggris, perusahaan OTT yang memperoleh pendapatan signifikan dari pengguna di negara tersebut diwajibkan memiliki kehadiran ekonomi yang nyata atau membayar pajak digital berdasarkan skema pajak layanan digital (Digital Services Tax).  India mengenakan Equalisation Levy sebesar 6%, sementara Prancis memberlakukan pajak layanan digital sebesar 3% atas pendapatan perusahaan digital asing.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline