Beberapa waktu lalu, seorang adik rohani saya datang dengan wajah yang begitu letih. Tatapannya kosong, matanya sembab, dan saya bisa melihat jelas beban berat yang sedang ia tanggung.
Saat itu ia hanya berkata pelan, "Kak, saya merasa gagal. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi."
Sebagai kakak rohani, saya tahu kalimat itu tidak lahir dari mulut yang ringan. Itu keluar dari hati yang benar-benar remuk. Saya memilih untuk duduk diam, mendengarkan setiap kata yang ia ucapkan.
Ia lalu bercerita panjang lebar tentang perasaan kecewa, rasa bersalah, dan tekanan yang membuatnya nyaris menyerah.
Ia merasa tidak berguna, merasa tidak ada lagi yang bisa ia harapkan dalam hidup.
Dalam hati, saya ikut menangis. Saya menyadari bahwa saat-saat seperti itu bukan waktunya memberi banyak nasihat atau teori rohani.
Yang ia butuhkan adalah telinga yang mau mendengar dan hati yang mau memahami. Saya menahan diri untuk tidak buru-buru menyela. Saya ingin ia tahu bahwa ia tidak sendirian dalam pergumulan itu.
Setelah cukup lama ia bercerita, saya akhirnya mengajaknya untuk berdoa. Bukan doa panjang dengan kata-kata indah, tetapi doa sederhana. Saya mendoakan agar Tuhan sendiri yang menguatkannya, menyentuh hatinya, dan memberi kekuatan baru.
Saat itu, saya sungguh merasakan hadirat Tuhan hadir. Ada ketenangan yang perlahan mengalir, bahkan ia pun mulai merasa sedikit lega setelah doa tersebut.
Hari-hari setelah pertemuan itu, saya tidak berhenti mendoakannya. Saya tahu proses bangkit dari keterpurukan tidak bisa terjadi dalam semalam.