Lihat ke Halaman Asli

Wahyuni Susilowati

TERVERIFIKASI

Penulis, Jurnalis Independen

Politik Bisa Berpengaruh Buruk pada Kesehatan

Diperbarui: 20 Oktober 2019   05:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kontroversi politik bisa merusak kesehatan lahir dan batin (doc.The State Press/ed.Wahyuni)

Setidaknya, menurut Wall Street Journal (7/10), itulah yang dikeluhkan orang-orang AS menjelang pemilihan presiden di Negeri Paman Sam tahun 2020 mendatang. Sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal PLOS One pada September lalu menemukan bahwa dinamika politik menjadi pemicu stres bagi 38 persen orang Amerika.

"... ada puluhan juta orang Amerika yang melihat politik berpengaruh buruk terhadap kesehatan sosial, psikologis, emosional dan bahkan fisik mereka," Kata Kevin Smith, peneliti kepala dan ketua departemen ilmu politik di Universitas Nebraska-Lincoln.

Studi ini melibatkan 800 orang dalam jajak pendapat nasional yang representatif dengan mengajukan 32 pertanyaan kepada responden. Hasil pengolahannya menunjukkan bahwa mereka menyatakan politik telah mempengaruhi kesehatan fisik mereka (11,5%), kurang tidur (18,3%), depresi saat kandidat pilihan terpental dari bursa pemilihan (26,4%), membuat mereka membenci beberapa orang yang tak sepaham (26,5%), dan perbedaan pandangan telah merusak persahabatan yang berharga (20%).

Kevin mencatat bahwa survei ini lebih mengeksplorasi persepsi orang tentang kesehatan mereka dan bukan diagnosis yang sebenarnya. Efeknya tampak lebih menonjol bagi mereka yang lebih muda yang tertarik dan memang terlibat dalam (aktifitas) politik.

Perang wacana terkait politik di media sosial merupakan sumber ketegangan lainnya. Psikolog Amanda Johnson dari Newton-Iowa menyarankan pasien untuk beristirahat dari media sosial dan menonton berita.

"Jika mereka ingin dilibatkan, kami berupaya mencari cara-cara agar mereka bisa berbuat nyata pada upaya perubahan yang diinginkan, misalnya dengan ikut aktif berkampanye." Tutur Amanda. Dia juga mendorong pasien untuk menetapkan batasan dengan keluarga dan teman untuk menghindari percakapan yang berpotensi memicu ketegangan emosional.

Vaile Wright, direktur penelitian dan proyek-proyek khusus untuk American Psychological Association, mengatakan tekanan terkait politik lebih banyak muncul dalam laporan tahunan organisasi Stress in America.

Pada survei tahun 2018, 69% responden melaporkan merasa tertekan tentang masa depan bangsa, dibandingkan dengan 63% pada 2017. Hal itu, menurut Vaile, merupakan peningkatan yang signifikan secara statistik.

Daniel Bristow, presiden Oregon Psychiatric Physicians Association, mengatakan dia harus meresepkan obat pereda kecemasan atau antidepresan untuk beberapa pasien baru dan meningkatkan dosis untuk pasien lama. Bagi pasien, yang sebelumnya sudah mengalami gangguan stres pasca-trauma, meningkatnya ketidakpastian terkait politik dapat membuat gejala lama muncul kembali.

"Saya telah melihat berkali-kali bahwa stres baru dapat memperburuk gejala lama yang sebelumnya sudah terkendali." Ujar Daniel.

Langkah terbaik tentunya dalam menangani perbedaan pendapat seputar politik adalah konsep 'sersan' alias serius tapi santai. Fokus pada menjalankan tanggungjawab politik individual sebagai warganegara, boleh memperjuangkan pilihan dan menyuarakannya di berbagai media termasuk medsos, tak perlu takut berbeda pilihan dengan keluarga/teman, namun pastikan segala hiruk-pikuk politik di kepala terkendali dengan baik. Perkuat ibadah dan agendakan relaksasi, sebisanya jangan biarkan ponsel/gawai menyandera kegembiraan anda dalam hidup.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline