Lihat ke Halaman Asli

Rosidin Karidi

TERVERIFIKASI

Orang Biasa

Ini Perbedaan Sertifikat Halal Terbitan BPJPH Kemenag dengan MUI

Diperbarui: 14 Maret 2022   06:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Logo halal MUI (Kiri) dan logo halal Kemenag (kanan) halal | sumber: KOMPAS.com

Terbitnya Undang-Undang 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, menjadi babak baru proses sertifikasi halal di Indonesia.

Baca juga:

Alasan Mengapa Indonesia Harus Punya UU Halal
Tantangan Pelaksanaan Sertifikasi Halal di Indonesia

Sebelumnya kurang lebih 32 tahun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memegang kewenangan penuh atas proses sertifikasi halal. Sejak pendaftaran, pemeriksaan hingga penerbitan sertifikat. Semua dilakukan dalam satu manajemen, dibawah kendali MUI.

Kini tidak lagi. Pintu masuk dan keluar sertifikasi halal dimandatkan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Sebuah badan di bawah Kementerian Agama. Badan ini berwenang menerima pendaftaran sekaligus menerbitkan sertifikat halal.

Lantas, apa perbedaan sertifikat halal yang kini diterbitkan BPJPH dengan sebelumnya oleh MUI?

Mandatori UU

MUI melakukan sertifikasi halal atas mandat surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dan Menteri Kesehatan. Hal ini dilakukan karena maraknya kasus kandungan babi dalam beberapa produk yang beredar di Indonesia di awal tahun 1980an.

Saat itu, sertifikasi halal menyasar produk yang diduga mengandung bahan babi. Namun seiring waktu, sertifikasi halal terus merambah banyak jenis produk.

Meski demikian, proses sertifikasi halal yang dilakukan MUI bersifat sukarela. Dimana pelaku usaha secara sukarela dan kesadaran mandiri daftarkan produknya untuk peroleh sertifikat halal.

Bagi pelaku usaha, sertifikat halal menjadi nilai tambah atas produknya. Bagaimana pun konsumen Indonesia yang mayoritas Islam tentu sangat fanatik dengan istilah halal. Sehingga produk yang sudah dinyatakan halal bisa berdampak pada omset penjualan.

Kini, sertifikat halal bersifat wajib dan melekat pada produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia. Artinya pelaku usaha tidak punya pilihan lain selain mengajukan sertifikasi halal dan menjaga proses produksi agar tetap halal.

Seluruh prosedur pelaksanaan telah diatur mulai dari UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri hingga Petunjuk Teknis. Karenanya proses sertifikasi halal, kini relatif lebih rapih dan terukur. Ketika ada kendala, biasanya lebih pada koordinasi para stakeholder.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline