Lihat ke Halaman Asli

Stigma Puluhan Tahun Terjawab, Cendekiawan NU Temukan Fakta Mengejutkan Tentang LDII

Diperbarui: 16 Agustus 2025   06:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bedah Buku LDII oleh Ust. Ahmad Ali. Foto: Lines


Jakarta, 15 Agustus 2025 -- Stigma negatif yang melekat selama puluhan tahun terhadap Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) akhirnya mendapatkan jawaban ilmiah. Salah satu stigma yang paling sering beredar adalah anggapan bahwa masjid LDII akan dipel jika ada orang di luar komunitas yang salat di sana. Pandangan ini, yang telah beredar dari mulut ke mulut tanpa verifikasi, menjadi pemicu lahirnya sebuah riset mendalam oleh Ahmad Ali, seorang cendekiawan muda Nahdlatul Ulama (NU).

Dalam penelitiannya yang kemudian dibukukan dengan judul "Nilai-Nilai Kebajikan dalam Jamaah Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)", Ahmad Ali memaparkan bahwa praktik tersebut bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan bagian dari upaya menjaga kesucian tempat ibadah sesuai prinsip taharah dalam Islam.

"Stigma ini sudah saya dengar sejak lama, sejak tahun 2002, saat saya punya teman di daerah Perak dekat Pesantren Gading Mangu. Ia mengatakan bahwa jika kita salat di masjid tersebut, maka masjid akan dipel karena kita dianggap najis. Dua puluh tahun kemudian, baru saya tahu bahwa masjid itu adalah milik LDII. Hal ini membuat saya tertarik melakukan riset pada tahun 2021," ujar Ahmad Ali.

Penelitian ini dilakukan melalui observasi langsung di berbagai masjid LDII di Indonesia. Salah satu temuan uniknya adalah keberadaan sandal di setiap area strategis seperti tempat wudhu, toilet, kamar mandi, hingga ruang tamu dan wisma. Menurut Ahmad Ali, hal tersebut memiliki hubungan erat dengan prinsip taharah atau kesucian, yang memastikan jamaah terhindar dari najis ketika memasuki area salat.

Ahmad Ali, yang telah menempuh pendidikan pesantren sejak lulus SD pada 1991, menegaskan bahwa suatu benda dianggap suci jika bebas dari perubahan rasa, bau, dan warna yang disebabkan oleh najis. LDII menerapkan standar ini secara konsisten, bahkan sampai pada ukuran bak air yang disesuaikan dengan ketentuan syariat---minimal dua kulah atau sekitar 200 liter---untuk memastikan air tetap suci dan layak digunakan.

"Justifikasi bahwa masjid LDII dipel setelah dipakai orang luar sebenarnya berkaitan dengan komitmen menjaga kesucian tempat ibadah. Ini bukan persoalan membedakan atau menyingkirkan orang lain, melainkan bentuk implementasi prinsip syariat. Kesucian badan, pakaian, hingga tempat salat adalah syarat mutlak," jelasnya.

Selain soal kebersihan, riset ini juga menemukan nilai kemandirian dan kedisiplinan yang terwujud dalam kebiasaan jamaah LDII. Misalnya, setiap orang bertanggung jawab merapikan sandalnya sendiri dan menatanya menghadap ke luar untuk memudahkan saat keluar masjid. Bagi Ahmad Ali, kebiasaan sederhana ini adalah contoh nyata penerapan pendidikan karakter yang konsisten, mulai dari hal kecil.

Bedah Buku yang dihasilkan dari riset ini tidak hanya menjawab stigma lama, tetapi juga menyoroti empat nilai kebajikan utama LDII: kebersihan, kerapian, kedisiplinan, dan kesucian. Ahmad Ali berharap karyanya dapat menjadi rujukan bagi masyarakat untuk memahami praktik ibadah LDII secara objektif, sehingga dapat mengikis prasangka yang selama ini berkembang.

"Kalau kita tidak melakukan riset, kita hanya akan terjebak dalam kata orang. Padahal, praktik yang mungkin terlihat aneh bagi sebagian orang ternyata memiliki landasan syariat yang kuat," pungkasnya.

Dengan terbitnya buku ini, stigma yang selama ini beredar mulai bergeser menjadi pemahaman baru. Penelitian Ahmad Ali menjadi bukti bahwa dialog ilmiah dan penelitian lapangan adalah kunci untuk meluruskan persepsi, membangun toleransi, dan memperkuat ukhuwah Islamiyah di tengah masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline