Mohon tunggu...
Muhammad Dzaki Kurniawan
Muhammad Dzaki Kurniawan Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

pemuda yang menyukai isu apapun yang terjadi di dunia ini

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

DPR Hapus Batas Menteri: Ekspansi Kabinet, Evaluasi Demokrasi

19 Oktober 2025   05:53 Diperbarui: 19 Oktober 2025   05:53 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ditulis oleh: Muhammad Dzaki Kurniawan, mahasiswa semester 1, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Untirta.

Rencana revisi Undang-Undang Kementerian Negara yang diajukan oleh DPR menjadi sorotan publik karena menghapus ketentuan mengenai batas maksimal jumlah kementerian yang sebelumnya dibatasi sebanyak 34. Jika revisi ini disahkan, presiden memiliki kewenangan tanpa batas dalam menentukan berapa banyak kementerian yang akan dibentuk dalam kabinet. Isu ini menimbulkan perdebatan yang luas karena menyentuh aspek fundamental dari sistem pemerintahan dan keseimbangan kekuasaan di Indonesia.

Dalam sistem presidensial seperti yang dianut Indonesia, kekuasaan presiden memang besar, tetapi tetap harus diimbangi oleh mekanisme pengawasan yang ketat. Pembatasan jumlah kementerian sejatinya berfungsi sebagai salah satu bentuk kontrol terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan. Ketentuan tersebut tidak hanya mengatur hal teknis, tetapi juga memiliki makna politik yang mendalam, yaitu memastikan agar struktur pemerintahan tidak menjadi terlalu besar dan tidak efisien. Pemerintahan yang terlalu gemuk bukan hanya memboroskan anggaran negara, tetapi juga memperlambat proses birokrasi dan koordinasi antar lembaga.

Dengan dihapusnya batas tersebut, muncul kekhawatiran bahwa kebijakan ini bisa dimanfaatkan untuk memperluas pengaruh politik presiden dengan menambah jumlah kursi menteri sebagai bentuk balas jasa kepada partai-partai pendukung atau kelompok tertentu. Dalam praktik politik Indonesia, posisi menteri sering kali dijadikan alat tawar-menawar untuk menjaga stabilitas koalisi pemerintahan. Hal ini bisa berdampak pada berkurangnya profesionalisme kabinet, karena posisi strategis lebih banyak diisi berdasarkan pertimbangan politik ketimbang kompetensi dan keahlian.

Padahal, salah satu ciri utama pemerintahan yang baik adalah efektivitas dan efisiensi dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Ketika kementerian terlalu banyak, koordinasi menjadi semakin sulit, kebijakan menjadi tumpang tindih, dan pengawasan semakin lemah. Banyaknya kementerian juga berarti semakin besar beban keuangan negara untuk menggaji pejabat, staf, serta menjalankan program-program birokrasi. Di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil, langkah ini bisa menimbulkan ketidakseimbangan antara pengeluaran dan manfaat nyata bagi masyarakat.

Namun, di sisi lain, perlu juga diakui bahwa dunia saat ini menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Pemerintah dihadapkan pada isu-isu global yang terus berkembang seperti perubahan iklim, revolusi digital, keamanan siber, ketahanan pangan, dan transisi energi hijau. Setiap masalah ini membutuhkan perhatian dan koordinasi lintas sektor yang sering kali sulit ditangani oleh kementerian yang ada. Dalam konteks ini, keinginan pemerintah untuk menambah kementerian bisa dipahami sebagai upaya untuk menyesuaikan struktur birokrasi dengan kebutuhan zaman.

Meskipun begitu, kebijakan tersebut harus disertai dengan landasan akademis dan kajian kebijakan yang mendalam. Penambahan kementerian seharusnya bukan didasarkan pada kepentingan politik, melainkan pada kebutuhan administratif yang benar-benar mendesak dan memiliki tujuan yang jelas. Pemerintah perlu menjelaskan kepada publik mengapa kementerian baru dibutuhkan, apa urgensinya, dan bagaimana mekanisme pengawasan serta koordinasinya akan dijalankan. Tanpa transparansi seperti ini, kebijakan tersebut hanya akan memperkuat persepsi publik bahwa pemerintah sedang memperluas kekuasaannya, bukan memperbaiki tata kelola negara.

Dari perspektif komunikasi politik, isu ini memperlihatkan bagaimana bahasa kebijakan digunakan untuk membentuk citra positif di hadapan masyarakat. Narasi seperti "menyesuaikan dengan kebutuhan pembangunan nasional" atau "memperkuat efektivitas pemerintahan" terdengar ideal, tetapi bisa menyembunyikan agenda politik yang lebih besar di baliknya. Dalam hal ini, peran media massa dan masyarakat menjadi penting untuk mengawasi serta menafsirkan wacana politik secara kritis. Mahasiswa dan kalangan akademik juga memiliki tanggung jawab moral untuk membantu publik memahami isu ini secara objektif, bukan hanya berdasarkan retorika politik.

Dari kacamata ilmu politik, kebijakan publik yang baik harus berpijak pada prinsip rasionalitas, efisiensi, dan kebermanfaatan bagi rakyat. Pemerintah tidak seharusnya menambah lembaga hanya karena alasan politik atau simbolik. Idealnya, setiap pembentukan kementerian baru harus didahului oleh analisis kebijakan, kajian akademis, serta evaluasi terhadap efektivitas lembaga yang sudah ada. Tanpa mekanisme ini, sistem birokrasi justru akan semakin rumit dan membingungkan, serta memperlambat pengambilan keputusan.

Selain itu, penghapusan batas jumlah kementerian juga dapat mengubah dinamika kekuasaan dalam sistem politik Indonesia. Dalam jangka panjang, langkah ini bisa memperkuat posisi presiden dan memperlemah peran lembaga legislatif. Bila kekuasaan eksekutif tidak dikendalikan, maka sistem presidensial Indonesia akan bergeser menjadi pemerintahan yang lebih bersifat patronase, di mana loyalitas politik lebih penting daripada akuntabilitas publik. Kondisi ini jelas bertentangan dengan semangat reformasi yang menuntut transparansi dan pembatasan kekuasaan agar tidak disalahgunakan.

Pemerintah dan DPR seharusnya menjadikan revisi ini sebagai momentum untuk memperbaiki sistem birokrasi, bukan memperluas kekuasaan. Langkah-langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain memperkuat mekanisme koordinasi antar kementerian, menghapus duplikasi fungsi, serta memperbaiki sistem rekrutmen pejabat publik agar lebih berbasis kompetensi. Selain itu, DPR juga perlu memastikan bahwa setiap keputusan mengenai pembentukan kementerian baru disertai dengan evaluasi dampak fiskal dan administratif yang jelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun