Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita terjebak dalam pandangan sempit terhadap sebuah institusi. Kita menilai secara keseluruhan tanpa melihat sisi personal orang-orang yang ada di dalamnya. Padahal, setiap individu yang menjadi bagian dari institusi tersebut tetaplah manusia biasa, dengan perasaan, harapan, serta keluarga yang menunggu mereka pulang.
Kritik terhadap sebuah institusi memang wajar, bahkan seringkali diperlukan demi perbaikan. Namun, yang sering terlupakan adalah membedakan antara institusi dengan manusia yang menjadi bagian darinya. Mereka bukan sekedar simbol atau perpanjangan tangan lembaga, melainkan individu yang juga memiliki kehidupan pribadi.
Setiap orang yang bekerja di balik seragam tertentu, baik aparat, pegawai, maupun tenaga lapangan, tetaplah seorang anak dari orang tuanya. Ada ayah dan ibu yang selalu menanti mereka pulang dengan selamat. Ada doa yang dipanjatkan setiap malam agar buah hati yang bekerja di medan berat tetap sehat dan terlindungi.
Bagi seorang istri atau suami, keberadaan pasangan adalah sumber kekuatan. Ketika pasangannya harus bekerja di institusi yang kerap dipandang negatif, ada rasa cemas yang terus menghantui. Namun, mereka tetap setia menunggu di rumah, berharap pasangannya kembali dengan selamat agar keluarga bisa berkumpul lagi.
Tak kalah penting, ada anak-anak yang menanti kepulangan orang tuanya. Seorang anak tidak melihat institusi atau jabatan, mereka hanya tahu bahwa sosok itu adalah ayah atau ibunya yang penuh kasih sayang. Kerinduan seorang anak akan pelukan orang tua menjadi bukti nyata bahwa di balik tugas berat ada tanggung jawab keluarga yang lebih besar.
Keluarga-keluarga ini juga bagian dari masyarakat. Mereka merasakan dampak langsung dari pandangan publik terhadap profesi atau institusi tempat orang terdekat mereka bekerja. Maka, ketika kritik dilontarkan, seringkali keluarga ikut menanggung beban emosional yang tidak terlihat oleh mata banyak orang.
Suara masyarakat memang penting untuk mengingatkan, mengawasi, bahkan memperjuangkan kebenaran. Namun, perlu diingat bahwa suara itu juga menyentuh hati keluarga mereka yang bekerja di balik seragam. Suara masyarakat adalah juga suara keluarga, karena mereka pun bagian dari lingkaran sosial yang sama.
Empati menjadi kunci dalam melihat permasalahan ini. Mengkritik boleh, tetapi jangan sampai menghilangkan sisi kemanusiaan orang-orang yang berada di dalamnya. Dengan empati, kita bisa menyampaikan aspirasi dengan cara yang lebih manusiawi, tanpa melukai perasaan keluarga yang tidak bersalah.
Ketika kita mampu memisahkan kritik terhadap institusi dengan penghargaan terhadap individu, maka ruang dialog akan lebih sehat. Institusi bisa memperbaiki diri, sementara individu tetap dihargai sebagai manusia yang memiliki hak untuk dicintai dan dihormati.
Kita perlu mengingat bahwa setiap seragam yang dikenakan seseorang tidak menghapuskan identitas personalnya. Mereka tetap manusia, tetap bagian dari keluarga, dan tetap bagian dari masyarakat. Dengan menumbuhkan empati, kita bisa menjaga suara perubahan tetap lantang, namun tetap berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan.