Waraqah bin Naufal katanya seorang kristen, lantas kristen yang bagaimana pula dia itu? Sangat sedikit umat Nabi Muhamad yang bisa memberi jawab pasti soal hal ini. Di sisi lain kebanyakan umat Al-Masih Barat tidak peduli akan riwayat tersebut, beberapa malah meragukan kebenarannya.
Ya lagi-lagi semuanya mentok, sebab yang sering dibangun dalam beragama adalah tembok, bukannya jembatan. Padahal peran Waraqah bin Naufal, sama seperti seorang Rahib Nasrani di Bahira dan Raja Negus dari Habbasiyah (Ethiopia) sangat menarik untuk diperhatikan. Baik dalam kaitannya dengan sejarah perkembangan agama Islam, juga sebagai titik temu dalam dialog antar dua umat Ibrahim ini.
Nah, Waraqah menurut beberapa riwayat adalah seorang pemimpin Umat Al-Masih di Mekkah. Ia adalah seorang yang paham Kitab Suci umat Al-Masih dalam bahasa aslinya (Sahih Bukhari 1:3; Sahih Muslim 301). Waraqah sangat berperan dalam meneguhkan hati Nabi Muhamad atas pewahyuan yag di terimanya. Beberapa sejarahwan Islam bahkan meyakini Waraqah lah yang mengawinkan Nabi dengan Siti Khadijah (saya mengutip Tuan K.H Munawar Khalil dalam Burhanuddin, 1984:10-11). Hal yang mungkin menjadi alasan mengapa Nabi Muhamad tetap bermonogami selama masa hidup Khadijah (menurut tradisi umat Al-Masih dalam peneguhan perkawinan ada ikrar untuk hidup bermonogami dengan pasangannya, sampai kematian memisahkan).
Mengapa Waraqah yang mengawinkan? Apakah Siti Khadijah juga seorang pengikut Al-Masih? Mungkin saja, jika menilik pakaiannya yang serba tertutup dan berbeda dengan kebanyakan perempuan Arab waktu itu, ada kemungkinan ia seorang biarawati (dalam beberapa mahzab Al-Masih Timur biarawati boleh menikah), namun tentu sulit sekali untuk membuktikannya. Ataukah Nabi Muhamad yang seorang pengikut Al-Masih, mengingat waktu kecil ibunya juga membawa dia kepada seorang Rahib umat Al-Masih di Bahira? Mungkin, namun pendapat ini akan ditentang oleh hampir semua riwayat yang menyebut bahwa Sang Nabi adalah seorang Hanif (monotheisme Ibrahim yang diturunkan lewat Ismail). Tapi setidaknya kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa Nabi Muhamad cukup dekat dan sangat menghargai satu bentuk keyakinan umat Al-Masih yang disebut dalam Al-Quran sebagai “Nasrani”. Lantas, umat Al-Masih bagaimanakah “Nasrani” yang satu ini?
Yang jelas “Nasrani yang benar”, yang dimaksud oleh Qur’an, bukanlah Nasrani seperti beberapa bidah di Mekkah, yang disebut sebagai “Nasrani kafir” oleh Al-Quran. Di Mekkah waktu itu memang berkembang ajaran-ajaran yang mirip iman umat Al-Masih sejati, namun kenyataannya sesat (Bambang Noorsena, History of Allah, Pasal 3). Injil dan Al Quran sama-sama menentang umat yang menyatakan Siti Maryam, Bunda Al-Masih, sebagai ilah. Keyakinan ini merupakan sinkretisme antara keyakinan Al-Masih dengan ritus kepercayaan kepada Dewi Kesuburan (disebut dengan nama berbeda-beda diberbagai tempat Isthaar, Asytera, Diana, Aikah, dll dilambangkan dengan seorang perempuan). Kedua kitab suci ini juga menentang penyembahan kepada tiga ilah. Ajaran triteisme ini jadi berkembang, karena keyakinan tauhid umat Al-Masih dimaknai secara politeisme, jadinya umat bidah ini menyembah kepada tiga tuhan, Bapa, Maryam dan Al-Masih. Ada lagi ajaran yang mengatakan Al-Masih itu adalah anak biologis Allah, ada pula ajaran yang menolak kemanusiaan Al-Masih, sehingga meragukan kematian Al-Masih di salib. Kedua ajaran ini agaknya terpengaruh oleh pandangan Gnostik dan mitologi Arab.
Tapi tentu saja dari sekian banyak yang palsu, masih ada yang asli.
4. Sejarah Kanisah Assyirian Timur
Sampainya iman umat Al-Masih di jazirah Arab, tidak lepas dari pengaruh para hawariyyun dan juga kaum awam dalam umat ini, yang berkelana ke wilayah Timur Palestina dan Syria. Menurut tradisi, dua orang hawari, yaitu St. Thomas (Mar Thoma) dan St. Tadeus (Mar Addai), bahkan sampai ke tanah Persia dan India Utara dalam dakwah injiliyahnya. Sudah pasti mereka melewati sebagian kota-kota di Semenanjung Arabia, saat melakukan perjalanan ini. Selang beberapa waktu kemudian, dicatat oleh sejarahwan Eusebius, bahwa tokoh gerejawi Aleksandria, Origenes (Mar Urijan) pada tahun 200-an, mengunjungi umat Al-Masih di wilayah Arab dan Persia yang ternyata jumlahnya sudah sangat berkembang. Konsili Efesus tahun 431 bahkan mencatat ada seorang uskup dari Arab, bernama Abdullah (Yunani : Abdelles) yang mewakili gereja-gereja di Arab untuk menghadiri konsili itu.
Semenanjung Arab di tahun 200-600an adalah wilayah penyangga, sama seperti Edessa di sebelah utaranya. Ada dua imperium besar yang mengapit wilayah ini, Kekaisaran Romawi Timur (Byzantium) di sebelah Barat dan Shah Persia (Iran) di Timur. Bahasa Arab waktu itu belumlah berkembang, masih merupakan dialek khusus dari Bahasa Aram/Syria Timur. Umat Al-Masih yang lebih terpelajar banyak membantu perkembangan Bahasa dan Aksara Arab dengan banyak meminjam istilah Aram (Lihat bukunya Bambang Noorsena dan Robert Jaffray).
Umat Al-Masih di wilayah Arab lebih netral secara politis. Berbeda dengan di Byzantium, dimana umat Al-Masih mendapat perlindungan negara, atau dengan di Persia dimana umat Al-Masih malah ditindas, karena dicurigai sebagai antek-antek Byzantium. Namun semuanya masih satu adanya. Waktu itu di segala tempat, meski coraknya berbeda, semua umat Al-Masih mengakui kalau mereka adalah jamah yang satu, kudus, katolik dan rasuliyah (meneruskan tradisi para hawariyyun).
Setelah dua konsili besar yang keputusannya diterima di semua jamaah Al-Masiyah (Konsili Nicea 325 dan Konsili Konstantinopel 381), umat Al-Masih di Persia mulai berusaha untuk tidak disamakan dengan rekan-rekannya di Byzantium, agar dipandang loyal oleh Shah Persia. Isu teologis untuk agenda ini akhirnya memang ada. Tersebutlah Nestorius, seorang uskup di Konstantinopel, Ibukota Byzantium, yang menekankan ajaran tentang keterpisahan antara kodrat kemanusiaan Al-Masih dengan kodratnya sebagai Firman Allah. Ajarannya ini ditentang oleh Kyrillios, uskup di Aleksandria, yang sangat menekankan keilahian Al-Masih. Kyrillios akhirnya menggagas Konsili ketiga di kota Efesus (431) dan dengan pengaruhnya akhirnya Nestorius disingkirkan dan ajarannya dinyatakan sesat.
Umat Al-Masih di Persia tidak hadir pada konsili itu, karena sedang terjadi perang antara Byzantium dan Persia, sementara konsili dilangsungkan di wilayah Byzantium. Namun mereka sangat menghargai Nestorius, mengingat ia adalah murid Theodorus dari Mopsuestia yang adalah guru besar sekolah teologi Antiokhia (hampir semua imam di Persia, dididik di sekolah Antiokhia atau oleh alumni sekolah ini). Maka dari itu mereka menolak hukuman terhadap Nestorius dan melindungi para pengikutnya. Umat Al-Masih yang tinggal di kekaisaran Romawi Timur menentang hal itu dan menuduh Umat Al-Masih di Persia sebagai “Nestorian”. Sementara itu umat Al-Masih di jazirah Arab terpecah, ada yang mengikuti rekan-rekannya di Byzantium (mengingat itu adalah suara mayoritas), ada pula yang mengikuti rekan-rekannya di Persia (mengingat kebanyakan ulama di Arab juga keluaran sekolah Antiokhia). Yang disebut terakhir ini akhirnya mempersekutukan diri dengan rekan-rekannya di Persia dalam satu kesatuan yang menyebut dirinya “Gereja Timur yang Katolik, Kudus dan Rasuliyah”. Karena mereka banyak memakai Bahasa Aram dialek Timur (Assyrian), maka jama’ah ini juga dikenal dengan sebutan Kanisah (Gereja) Assyria Timur.
Selepas perpisahan ini, Kanisah Assyria Timur, mengalami perpecahan antara yang pro dan kontra terhadap pemisahan diri. Namun selepas kepemimpinan Mar Babai Agung (610), jamaah ini justru berkembang pesat. Mereka tak lagi dianiaya oleh Shah Iran, sehingga memudahkan mereka membangun banyak sekolah dan mengutus juru dakwah ke berbagai tempat. Di India, Cina, bahkan Nusantara terdapat jejak-jejak dakwah para imam Assyria Timur ini antara abad VI-XI. Mereka juga mencintai pembelajaran, Umat Al-Masih inilah yang menerjemahkan banyak sekali literatur Yunani ke Bahasa Aram Timur dan kemudian diwariskan serta dikembangkan luar biasa pada zaman kekhalifahan Islam setelahnya.
Nampaknya Waraqah memang berasal dari mahzab ini. Perhatikanlah bahwa masa-masa Nabi Muhammad mendapat wahyu, itu kira-kira sama dengan masa dimana Kanisah Assyrian Timur sudah mulai berkembang lagi. Sangat mungkin jama’ah yang kuat yang berada di Mekkah adalah mahzab Assyria Timur. Apalagi jama’ah Assyria Timur memang banyak memberi penekanan ke soal kodrat kemanusiaan Al-Masih. Mereka sangat sering menyebut dirinya sebagai Pengikut Sang Orang Nazaret (Nazarini/Nasrani), tentu pas dengan keterangan Al Quran dan sejahrawan Islam.
Kalau benar begitu, lewat mahzab ini kita tentu bisa menjumpai banyak titik temu antara Umat Al-Masih dengan Umat Nabi Muhammad, bukan? Sayangnya belum tentu. Sebab titik temu itu kini semakin jauh. Umat Assyrian Timur adalah umat yang paling banyak didiskriminasikan dalam beberapa pemerintahan Khalifah Islam yang lebih baru (terutama oleh dinasti Ottoman), meski sebelumnya mereka diperlakukan dengan baik oleh pemerintahan Nabi dan para Khulafa’ur Rasyidin. Keberadaan mereka saat ini hanya tinggal sekitar 50.000 jiwa di tanah aslinya (sekarang Irak Utara, Syria Utara, Iran dan Turki). Perlakuan itu yang sering menjadi luka untuk dialog, sebab mereka hanya diperhadapkan pada kebencian. Ah... sayang sekali.
===
(Selepas sembahyang pagi hari/Sholatus Sa’atul Awwal/Orhtros/Laudes)
(mungkin bersambung)
Kali ini saya harus minta maaf kepada kaum pecinta fanatik kekhalifahan Ottoman, maaf sedikit membongkar, hehe...
Sebelumnya
Mengenal Umat Al-Masih Timur (3)
Mengenal Umat Al-Masih Timur (2)
selanjutnya
Mengenal Umat Al-Masih Timur (5)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI