Gadis itu berjalan setiap hari
dengan langkah ringan
namun dadanya berat,
seperti membawa laut yang tak pernah reda.
Tak ada yang tahu,
bahwa ia bisa menangis
di tengah keramaian
tanpa setetes air mata.
Ia menyimpan badai di dalam,
karena dulu, saat ia menangis,
ibunya berkata:
"Berhenti. Kau cengeng."
Di ruang konseling yang lembut,
ia belajar menyebut emosi satu per satu
seperti menamai bintang di langit.
"Ini marah."
"Ini kecewa."
"Ini kehilangan."
Hingga akhirnya,
lautan itu surut.
Bukan karena hilang,
tapi karena ia sudah belajar berenang.
Tak semua luka terlihat. Tak semua tangis membasahi pipi.
Ada gadis-gadis di sekitar kita: duduk di ruang kelas, berjalan di koridor kantor, atau menatap senja dari balik jendela, yang menyimpan badai dalam diam. Mereka tidak berteriak, tidak meminta dunia berhenti. Mereka hanya berjalan, sambil memikul laut yang terus bergelombang di dalam dada.
Puisi ini lahir dari ruang-ruang sunyi, tempat seseorang mulai belajar menyebutkan perasaannya, satu per satu. Ia adalah narasi pemulihan yang pelan namun nyata. Sebuah proses psikologis: dari terbungkam, menjadi terdengar. Dari terbebani, menjadi berenang.