"Nyadran Menyambut Ramadhan: Menggali Makna Tradisi Leluhur di Tengah Modernitas"
Setiap kali bulan Ramadhan akan tiba, masyarakat di beberapa Kecamatan Ambulu, Dusun Blater melakukan sebuah tradisi yang disebut Nyadran. Tradisi ini merupakan bentuk penghormatan kepada para leluhur yang telah tiada, dilakukan dengan cara ziarah ke makam keluarga, membersihkan area makam, serta berdoa dan mengirimkan doa-doa seperti tahlil dan yasinan. Dalam kehidupan masyarakat di kampung halamanku, Nyadran tidak sekadar menjadi kegiatan keagamaan, melainkan juga merupakan bagian dari budaya yang mengakar kuat sejak zaman nenek moyang. Nyadran biasanya dilaksanakan beberapa hari sebelum datangnya bulan suci Ramadhan, yang dianggap sebagai momen yang tepat untuk membersihkan hati dan jasmani, serta menjalin kembali hubungan antar anggota keluarga dan masyarakat. Warga desa berbondong-bondong menuju makam keluarga, membawa bunga setaman, air kembang, serta aneka makanan seperti ketan, apem, dan jenang. Setelah makam dibersihkan bersama-sama, dilakukan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh agama atau sesepuh desa. Setelah itu, makanan yang dibawa dibagikan dan dinikmati bersama dalam suasana kebersamaan dan kekeluargaan.
Makna dari Nyadran sebenarnya sangat dalam. Ia mengajarkan nilai spiritual berupa mendoakan para leluhur sebagai bentuk bakti dan penghormatan. Di sisi lain, nilai sosial dari kegiatan ini juga sangat kuat karena menjadi ajang silaturahmi, mempererat hubungan antarwarga, dan memperkuat solidaritas di tengah masyarakat. Dalam momen ini, perbedaan status sosial seakan hilang. Semua orang duduk bersama di atas tikar, berbagi makanan dan cerita, tertawa dan merenung bersama dalam suasana kekeluargaan. Namun, di tengah arus modernisasi yang begitu deras, tradisi Nyadran menghadapi tantangan yang tidak kecil. Sebagian generasi muda mulai merasa tradisi ini tidak relevan lagi. Mereka lebih memilih menjalani kehidupan yang praktis dan instan, menjauh dari nilai-nilai kebudayaan yang dianggap kuno. Beberapa orang juga mulai mempertanyakan keabsahan tradisi ini dari segi ajaran agama, tanpa memahami konteks dan akar sejarah yang mendasarinya. Tradisi yang dahulu penuh makna kini mulai tergerus, hanya dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat yang masih peduli akan warisan leluhur. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, Nyadran adalah warisan kearifan lokal yang kaya akan nilai-nilai universal. Ia mengajarkan penghormatan kepada orang tua, menjaga hubungan sosial, dan memperkuat rasa memiliki terhadap budaya sendiri.
Di tengah kehidupan yang semakin individualistis dan digital, tradisi seperti ini bisa menjadi penyeimbang, menjadi pengingat bahwa manusia bukan hanya makhluk modern, tetapi juga makhluk budaya yang hidup dalam jejaring sejarah dan nilai-nilai turun-temurun. Melestarikan Nyadran bukan berarti menolak modernitas, melainkan menjadikan budaya lokal sebagai fondasi yang memperkaya identitas bangsa. Di tengah laju perkembangan teknologi dan globalisasi, budaya seperti Nyadran bisa menjadi pembeda sekaligus pemersatu. Generasi muda perlu diberi ruang dan pemahaman yang tepat agar bisa meneruskan tradisi ini dengan cara yang kontekstual, kreatif, dan tetap relevan. Pendidikan, keluarga, dan masyarakat memiliki peran besar dalam memastikan bahwa warisan seperti Nyadran tidak punah, melainkan tumbuh dan beradaptasi dengan zaman. Akhirnya, Nyadran tidak hanya soal datang ke makam dan berdoa. Ia adalah wujud cinta kepada masa lalu, cerminan nilai-nilai luhur, dan bentuk nyata dari gotong royong serta persatuan. Dengan merawat tradisi seperti ini, kita sedang menjaga jati diri bangsa di tengah tantangan zaman. Maka, mari kita sambut Ramadhan tidak hanya dengan puasa dan ibadah, tetapi juga dengan hati yang bersih, ingatan pada leluhur, dan semangat melestarikan budaya yang telah membesarkan kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI