Lihat ke Halaman Asli

renata salva fellycia

Universitas Jambi

Regulasi Khusus Unmanned Underwater Vehicle (UUV) di Perairan Territorial: Perspektif UNCLOS 1982 dan Kebijakan Pemerintah Indonesia

Diperbarui: 13 Oktober 2025   00:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Renata Salva Fellycia

renataslvfjambi@gmail.com

Universitas Jambi

Perkembangan dunia pertahanan saat ini berjalan begitu dinamis, tidak hanya terlihat dari peningkatan kuantitas personel militer, tetapi juga dari evolusi alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang semakin canggih. Inovasi ini tidak terbatas pada peningkatan kualitas dan jumlah, melainkan juga mencakup diversifikasi jenis alutsista yang dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Alasan utamanya adalah urgensi melindungi kedaulatan negara dari ancaman luar negeri, yang kerap berujung pada konflik bersenjata atau perang terbuka. Kemajuan semacam ini tentu saja menciptakan keterkaitan erat antara teknologi senjata baru dan pola perilaku manusia dalam situasi perang, di mana efisiensi dan minimisasi risiko menjadi prioritas utama. Negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara Uni Eropa memimpin dalam pengembangan teknologi persenjataan, sering kali dengan anggaran besar untuk riset dan pengujian (Nurbani, 2017, hlm. 14-15).

Dari perspektif UNCLOS 1982, regulasi UUV di perairan territorial harus menekankan prinsip kedaulatan dan non-intervensi, sementara kebijakan Indonesia perlu lebih proaktif dalam mengisi celah regulasi. Sebuah studi mendalam menunjukkan bahwa "penggunaan UUV di perairan territorial memerlukan kerangka hukum yang adaptif, di mana negara pantai berhak menuntut transparansi operasional untuk mencegah konflik maritim" (Putra, 2020). Pendekatan ini tidak hanya melindungi kedaulatan, tetapi juga mendorong inovasi teknologi yang berkelanjutan.

Untuk masa depan, Indonesia disarankan untuk mengadopsi regulasi khusus UUV melalui amandemen undang-undang maritim, termasuk kewajiban registrasi internasional dan kolaborasi dengan ASEAN untuk standar regional. Dengan demikian, kita dapat memanfaatkan potensi UUV untuk pembangunan ekonomi biru tanpa mengorbankan keamanan nasional.

Secara historis, evolusi senjata otonom dapat ditelusuri kembali ke abad ke-19, ketika ide-ide awal tentang kendaraan tanpa awak mulai muncul dalam doktrin militer Eropa, meskipun implementasinya baru meledak pasca-Perang Dunia II dengan kemajuan radar dan komputasi. Di era Perang Dingin, AS dan Uni Soviet bersaing dalam pengembangan sistem bawah air untuk superioritas strategis, yang kini berevolusi menjadi UUV modern. Di antara berbagai inovasi tersebut, penggunaan kendaraan tanpa awak---yang populer disebut drone---menjadi salah satu contoh paling menonjol. Drone, atau lebih tepatnya Unmanned Aerial Vehicle (UAV), adalah jenis pesawat yang dikendalikan secara remote oleh operator yang berada di lokasi terpisah, mengikuti skenario misi yang telah diprogramkan terlebih dahulu. Konsep ini telah berevolusi sejak lama, dengan istilah yang bervariasi seperti Unmanned Aircraft (UA), Remotely Piloted Vehicle (RPV), Unmanned Aerial System (UAS), hingga Remotely Piloted Aircraft (RPA). Dalam kerangka hukum internasional, drone sering dikaitkan dengan regulasi penerbangan sipil dan militer, di mana penerapannya meliputi berbagai misi strategis (Zakaria & Sasmini, 2015, hlm. 16-17). Drone militer secara umum dikategorikan menjadi dua: yang difokuskan pada pengintaian dan pengawasan, serta yang berorientasi pada pengumpulan intelijen, sering disebut sebagai Intelligence, Surveillance, Target Acquisition, and Reconnaissance (ISTAR) (Pusat Pengembangan dan Pengkajian Antariksa LAPAN, 2016, hlm. 3-5). 

Meskipun demikian, penerapan konsep drone tidak selalu seragam ketika dibahas dalam perspektif hukum laut internasional. Domain bawah air memiliki dinamika yang unik, berbeda jauh dari wilayah permukaan laut atau ruang udara di atasnya. Di bawah air, objek sulit dideteksi secara visual, ditempatkan dengan presisi, atau diidentifikasi dengan cepat. Hal ini menciptakan tantangan regulasi yang signifikan, seperti yang dijelaskan oleh para ahli: "Dalam aspek pengaturan, perbedaan ini jelas terlihat karena tidak ada sistem manajemen lalu lintas bawah laut yang setara dengan yang ada di permukaan atau langit. Lebih lanjut, paradigma perintah dan disiplin juga berbeda dalam praktik operasionalnya" (Borchert, Kraemer, & Mahon, 2017, hlm. 5-6). 

Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1982 (UNCLOS 1982) memang menjadi fondasi utama dalam mengatur aktivitas maritim global, tetapi tidak ada pasal tunggal yang secara eksplisit membahas penggunaan drone bawah laut, baik untuk tujuan ofensif seperti serangan, spionase, maupun pengumpulan data oseanografi. UUV sebagai teknologi mutakhir telah memunculkan dilema bagi komunitas internasional: apakah operasi semacam ini dianggap sebagai pelanggaran wilayah laut, atau masih termasuk dalam ruang lingkup hak lintas damai? Ketidakjelasan ini semakin rumit karena UNCLOS 1982 dirancang pada era pra-digital, sehingga tidak mengantisipasi kemajuan otonom seperti UUV yang mampu melintasi batas negara secara diam-diam (Shaw, 2017, hlm. 456-458). 

UUV mewakili lompatan besar dalam strategi militer karena kemampuannya mengurangi paparan risiko bagi prajurit manusia, dengan operasi yang bisa dilakukan jarak jauh atau sepenuhnya otomatis melalui algoritma canggih. Namun, ironisnya, laju perkembangan regulasi internasional tertinggal jauh di belakang inovasi teknologi ini. Akibatnya, muncullah berbagai pertanyaan kritis mengenai legalitas penggunaan UUV, terutama ketika perangkat tersebut memasuki wilayah negara lain tanpa izin (Zakaria & Sasmini, 2015, hlm. 16-18). Isu ini semakin mendesak karena UUV telah dimanfaatkan oleh berbagai negara untuk tujuan militer beragam, mulai dari pengawasan perbatasan, transportasi logistik bawah air, spionase intelijen, pembersihan ranjau laut, hingga sebagai platform serangan presisi (Nainggolan, 2018, hlm. 61-63). 

Sebelum merespons secara hukum, penting untuk mengidentifikasi pemilik UUV, operatornya, serta tujuan utama operasi tersebut---apakah untuk kepentingan komersial seperti pemetaan oseanografi atau justru untuk aktivitas militer yang sensitif (Juwana, 2020). Perlindungan kedaulatan negara, tentunya, tidak bisa dilepaskan dari kerangka hukum yang mengatur interaksi antarmanusia, institusi, dan negara. Di era globalisasi, hubungan internasional sering kali melibatkan tabrakan kepentingan, di mana konsep batas fisik menjadi semakin samar (borderless world). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline