Kejadian penemuan UUV di perairan Indonesia telah membuat isu ini semakin relevan. Pada akhir 2020, nelayan di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, menangkap perangkat yang diduga milik China. Ini bukan insiden pertama; pada 2019, UUV tipe Sea Wing ditemukan di Kepulauan Riau, dan pada awal 2020, yang lain muncul di dekat Pangkalan Angkatan Laut Surabaya. Bahkan, pada 2016, China sempat memprotes penangkapan 'glider' milik Angkatan Laut AS di Laut China Selatan, yang baru dikembalikan setelah eskalasi diplomatik (Tempo.co, 2021). Kasus-kasus ini menyoroti kerentanan wilayah maritim Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, di mana garis pantai sepanjang lebih dari 99.000 kilometer menjadi pintu masuk potensial bagi ancaman asimetris.Â
Selain itu, penggunaan UUV tidak lepas dari prinsip hukum humaniter internasional, yang menjadi pelengkap UNCLOS dalam mengatur konflik maritim. Sebagaimana diuraikan oleh Mochtar Kusumaatmadja, hukum humaniter adalah "bagian dari hukum internasional yang secara khusus mengatur perlindungan bagi korban perang, terpisah dari aturan yang mengatur pelaksanaan perang itu sendiri" (Kusumaatmadja, 1980, hlm. 4-5). Beliau juga menekankan bahwa fondasi hukum internasional modern sering kali berakar dari diskusi awal tentang etika perang, yang kini relevan untuk menilai dampak UUV terhadap sipil di zona konflik (ELSAM, 2014).Â
Pertanyaan sentral yang dibahas dalam artikel ini adalah: bagaimana mengatur operasi UUV yang melintasi batas negara menurut hukum laut internasional? Hak negara asing di perairan teritorial dibatasi pada prinsip lintas damai (innocent passage), bukan untuk kegiatan riset ilmiah atau spionase, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 17 UNCLOS 1982: "Menurut Konvensi ini, kapal dari semua negara, baik yang berbatas pantai maupun daratan, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial." Meskipun drone sering diasosiasikan dengan domain udara, UUV beroperasi di bawah permukaan laut dengan mobilitas tinggi, yang belum diatur secara spesifik. Oleh karena itu, pembahasan ini akan menggali lebih dalam mengenai penegakan hukum, potensi ancaman kedaulatan, dan rekomendasi kebijakan untuk Indonesia sebagai negara maritim, termasuk implikasi terhadap diplomasi regional di Asia Tenggara.
Artikel ini mengadopsi pendekatan yuridis normatif, yang menekankan analisis terhadap norma-norma hukum yang ada tanpa melibatkan pengamatan empiris langsung. Pendekatan ini dipilih karena isu UUV bersifat konseptual dan memerlukan pemahaman mendalam terhadap kaidah hukum positif, baik internasional maupun nasional. Data yang digunakan bersifat sekunder, mencakup bahan hukum primer seperti teks UNCLOS 1982, Undang-Undang Nasional Indonesia terkait pengesahan konvensi internasional (misalnya UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS), serta dokumen diplomatik seperti Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik (UU No. 1 Tahun 1982). Pengumpulan data primer dilakukan melalui studi literatur mendalam dari arsip resmi, perpustakaan hukum nasional (seperti Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan database internasional seperti United Nations Treaty Series.Â
Data sekunder meliputi artikel jurnal ilmiah, buku referensi klasik, laporan think tank seperti RSIS (S. Rajaratnam School of International Studies), dan berita kredibel dari media nasional yang diverifikasi, seperti kasus penemuan UUV di Indonesia. Sumber-sumber ini dikumpulkan melalui pencarian sistematis di platform seperti Google Scholar, JSTOR, dan HeinOnline, dengan fokus pada publikasi pasca-2010 untuk menangkap perkembangan terkini. Metode pendekatan yang diterapkan mencakup pendekatan historis---untuk melacak evolusi regulasi drone dari UAV ke UUV sejak Perang Dingin---serta pendekatan kasus, yang menganalisis insiden nyata seperti penangkapan seaglider di perairan Indonesia dan konflik di Laut China Selatan. Analisis data bersifat deskriptif-analitis, di mana fakta hukum diuraikan secara rinci sebelum dievaluasi kritis terhadap kesesuaiannya dengan konteks kontemporer, termasuk potensi konflik dengan prinsip hak asasi manusia di laut.Â
Keterbatasan metode ini adalah ketergantungan pada sumber tertulis, yang mungkin tidak mencakup perkembangan terbaru pasca-pandemi atau data rahasia militer. Namun, pendekatan normatif ini efektif untuk mengidentifikasi celah regulasi, seperti absennya ketentuan khusus UUV di UNCLOS 1982, dan merekomendasikan solusi berbasis norma. Secara keseluruhan, penelitian ini bertujuan memberikan kontribusi akademis bagi pembuat kebijakan di Indonesia untuk mengantisipasi ancaman maritim masa depan, dengan potensi aplikasi dalam forum regional seperti ASEAN Maritime Forum.
Â
1. Pengaturan Penggunaan UUV Menurut Hukum InternasionalÂ
Evolusi teknologi bawah laut telah bertransformasi dari era kendaraan berawak, seperti kapal selam konvensional pada Perang Dunia II, menjadi sistem otonom seperti UUV. Awalnya, UUV terdiri dari dua jenis utama: Autonomous Underwater Vehicle (AUV) yang beroperasi mandiri berdasarkan program internal, dan Remotely Operated Vehicle (ROV) yang dikendalikan secara real-time melalui kabel atau sinyal nirkabel. Penggunaan UUV kini menjadi bagian integral dari doktrin militer modern, didorong oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang memengaruhi strategi pertahanan secara keseluruhan. Meskipun drone udara (UAV) telah menjadi standar sejak lama, adaptasi ke domain bawah air merupakan inovasi relatif baru yang menimbulkan tantangan hukum unik (Kraska, 2016, hlm. 112-115).
Sebagai perbandingan, UAV telah banyak diterapkan dalam konflik bersenjata untuk mempercepat modernisasi arsenal militer, baik untuk pertahanan teritorial maupun operasi kontra-terorisme. Definisi UAV menurut regulasi Federal Amerika Serikat tahun 2012 menggambarkannya sebagai pesawat yang beroperasi tanpa kehadiran manusia langsung di dalam kabin, sehingga meminimalkan risiko korban jiwa (Marbun, Pramono, & Supriyadhie, 2016, hlm. 86-87). UAV lebih sering digunakan untuk misi pengintaian dan pengumpulan data intelijen di lapangan, dengan sejarah yang dimulai pada abad ke-18 melalui inisiatif North Atlantic Treaty Organization (NATO) untuk pengawasan. Amerika Serikat mengadopsinya secara luas selama Perang Teluk 1990, sementara Israel mempelopori penggunaannya pada 1982 dan 1996 di Lebanon untuk operasi serupa (Marbun dkk., 2016, hlm. 87-88).Â
Dalam praktik global, UAV oleh negara seperti AS, Inggris, dan Israel sering ditujukan untuk menargetkan musuh, tetapi tidak jarang menimbulkan dampak kolateral terhadap warga sipil, yang memicu perdebatan etis. Penggunaan UAV diatur ketat oleh prinsip-prinsip hukum humaniter internasional, termasuk prinsip pembedaan (distinction) antara kombatan dan non-kombatan, serta proporsionalitas untuk membatasi kerusakan berlebihan dari serangan (Roth, 2019, hlm. 45-47). Prinsip ini, yang berasal dari Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977, memastikan bahwa teknologi otonom tidak boleh mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.Â