1 Agustus 2024, menjadi tanggal yang bersejarah dalam hidup saya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya menginjakkan kaki di Yogyakarta, kota yang masyhur berjuluk 'kota pelajar'. Ya, tidak lain dan tidak bukan, tujuan saya mendarat di sini adalah untuk melanjutkan studi di salah satu universitas ternama di Indonesia. Sebagai orang Timur, masih sedikit kota di luar provinsi asal saya yang pernah saya kunjungi. Sebut saja Manado, Makassar dan dua kota di pulau Jawa: Jakarta dan Bogor, yang saya kunjungi dalam rangka mengikuti kegiatan sekolah sekitar 8 tahun silam.
Setiap kota tentu memiliki kultur dan keunikan tersendiri. Namun, bagi saya, Jogja berbeda. Saya seakan mengalami culture shock yang lebih kerasa daripada ketika mengunjungi daerah lain.
Kelangkaan suara klakson saat berlalu lintas: Kesabaran level dewa
Klakson, merupakan fitur yang akrab digunakan oleh pengendara dengan berbagai alasan. Suara nyaring nan memekakan telinga tersebut biasa digunakan untuk mendesak pengendara yang berada di depan untuk segera bergerak maju di tengah kemacetan maupun saat lampu baru berubah warna menjadi hijau, saling menyapa antar pengendara, hingga menegur pengendara yang tiba-tiba berbelok tanpa aba-aba.
Uniknya, semua hal tersebut tidak pernah atau jarang terjadi di Yogyakarta. Menurut saudara saya yang sudah lebih dulu kuliah Jogja, bila ada yang membunyikan klakson di jalan raya, langsung saja lihat plat nomornya, pasti bukan AB. Karena pengguna plat nomor AB tidak semudah itu membunyikan klakson, terlebih lagi hanya untuk memaksa orang untuk maju saat macet dan di lampu merah.
Benar saja, ketika saya mendengar klakson di jalanan, tidak pernah berasal dari kendaraan berplat nomor AB.
Fakta unik tersebut menjadikan pengalaman berlalu lintas di Jogja menjadi tidak terlupakan. Meskipun demikian, saat kelelahan sepulang kuliah, saya seringkali lupa dengan kedamaian yang dijunjung tinggi tersebut. Padatnya kendaraan di lampu merah seringkali menggerus kesabaran saya senantiasa menggunakan jasa ojek online. Ketika lampu berganti hijau, saya seringkali bergumam di dalam hati, "duh, yang di depan lama banget majunya. Klaksonin aja, mas." Satu detik kemudian, saya langsung teringat, "oh iya ya, ini Jogja. Orang-orang gak akan mencet klakson semudah itu." Hal ini membuat saya terkagum-kagum. "Warga Jogja tuh emang sesabar itu ya..."
Lama-kelamaan, sebagai bentuk konformitas, saya pun tidak pernah menekan klakson saat mengendarai motor sendirian. Namun, kedamaian berlalu lintas selama beberapa bulan tersebut terusik ketika saya kembali ke kampung halaman saat liburan. Telinga saya kembali dipekakan bunyi klakson yang sahut-sahutan di jalan raya. Terlebih lagi ketika terjebak macet, duh.
Penggunaan arah mata angin untuk menunjuk jalan
Culture shock kedua adalah penggunaan Mata angin dalam menunjuk arah. Di daerah asal saya, kami menggunakan empat istilah: dara/darat (barat atau ke arah gunung), lao/laut (timur atau ke arah laut), atas (utara), dan bawah (selatan). Penunjuk arah tersebut, meskipun asing untuk orang baru, namun masih visible tanda-tandanya. Gunung di barat dan pantai di timur. Selain itu, saat menanyakan arah jalan saat berkendara, orang-orang akan menjelaskannya dengan sederhana, menggunakan belok kanan dan kiri.
Hal berbeda saya temui di Jogja. Dalam semua konteks yang berkaitan dengan arah atau tata letak sesuatu, arah mata angin selalu digunakan. Saat acara Penyambutan Mahasiswa Baru, gedung yang menjadi tempat acara adalah gedung barat. Karena saya selalu saja tidak sadar ke mana saya sedang menghadap saat itu, saya harus senantiasa membuka Google Maps untuk mencocokkan arah mata angin dan lokasi kegiatan. Ketika kita menanyakan jalan, warga yang ditanyai akan mengatakan, misal, "ooh ini lurus aja, di pertigaan depan itu, belok ke barat ...," yang saya tanggapi dengan anggukan, meskipun kemudian harus kembali membuka Google Maps untuk memastikan, yang dimaksud barat itu belok kanan atau kiri. Namun, lama kelamaan saya mulai terbiasa dan ikut menggunakan mata angin saat menunjuk jalan.
Warga Jogja sangat sopan dan soft spoken
Ketika saya pertama kali tiba di yang sudah dipesan sepupu saya sebelum saya tiba, mas yang bertugas untuk menerima saja menggunakan kata "panjenengan" atau singkatnya "njenengan" ketika berkomunikasi dengan saya dalam suara yang lembut serta menggunakan gestur yang sangat sopan. Sebagai gen Z yang sudah kenyang dengan multikulturalisme Indonesia lewat televisi dan sosial media, saya tidak terlalu kaget. Hal tersebut berlangsung beberapa hari hingga saya bercengkrama dengan teman kampus saya, sesama mahasiswa Timur, yang sudah berkuliah di Jogja sejak jenjang sarjana. Ketika saya menggunakan kata njenengan untuk menyebutnya, ia berkata, "kok kamu make njenengan sih? Di sini tuh orang-orang jarang banget make itu. Itu tuh sopan banget dan hanya digunain ke orang yang lebih tua atau orang yang dihormati. Kita kan seumuran..." Di situ saya kaget.
Benar saja, setelah saya cek di google, ternyata kata "panjenengan" termasuk dalam bahasa Jawa krama inggil, dan digunakan kepada orang yang lebih tua atau sangat dihormati. Selain itu, ada kata "sampeyan," yang termasuk dalam bahasa Jawa krama madya, yang digunakan ketika bertemu dengan orang yang sepantaran. Saya langsung bergumam dalam hati, "padahal, mas-mas yang waktu itu nerima saya berusia jauh di atas saya. Harusnya beliau bisa menggunakan kata "sampeyan" atau bahkan "kamu" ketika berbicara dengan saya, mengingat perbedaan usia yang agak jauh dan latar belakang saya yang bukan orang Jawa." Hal ini menimbulkan kesan manis yang tidak terlupakan bagi saya. "Ternyata orang Jogja itu sesopan dan se-soft spoken itu ya..."
Warung angkringan: Tempat nongkrong yang harus ada di seluruh Indonesia
Dulu, saya sering sekali mendengar teman-teman atau saudara saya di Jogja mengatakan bahwa mereka baru saja dari warung angkringan. Angkringan, angkringan, dan angkringan. Saya penasaran, semenarik apa sih warung angkringan itu? Pertanyaan tersebut terjawab lunas ketika saya sampai di Jogja dan mengunjungi salah satu warung angkringan di dekat kawasan Malioboro.