Lihat ke Halaman Asli

NaNuNa TikTok: Seragam-Seragaman vs Esensi Pengabdian

Diperbarui: 9 Juli 2025   09:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: TikTok

## R. Hady Syahputra Tambunan. karyawan swasta, pendidikan hukum, minat menulis tema sosial dan budaya.

1. Fenomena NaNuNa: TikTok Sebagai Panggung Parade

Beberapa bulan terakhir, linimasa TikTok diramaikan parade seragam: siswa taruna sekolah kedinasan, hingga calon-calon ASN dengan langkah tegap dan gerakan "NaNuNa" yang katanya keren, gagah, dan nasionalis. Musik dramatis, gerakan hormat pelan, tangan di dada, jalan seirama layaknya pasukan parade. Tidak sedikit yang menyebutnya: estetik. Tapi sebagian lagi: ironik.

Mengapa jadi ironik?

Tren Seragam-Seragaman ala calon ASN-aparat negara-hukum-pemerintahan ini meluas. Beberapa ikut-ikutan tersenggol bahkan taruna yang sudah lulus pun merasa perlu menunjukkan ia berseragam pula. Keluarga yang memiliki saudara yang berseragam pun ikut pula tampil. Keluarga kami pun berseragam. Istilahnya: kami juga pantas dihormati layaknya bangsawan feodal warisan kolonial. Anda , saya atau kita masyarakat biasa mari tepuk tangan sambil berdiri. Mendewakan mereka.

2. Publik Terbelah: Antara Bangga dan Risih

Fenomena ini membelah masyarakat. Di satu sisi, ada yang husnuzhan-menganggap itu sebagai bentuk kebanggaan, kedisiplinan, bahkan kecintaan pada profesi. Di sisi lain, tak sedikit yang mengernyit, menyebut ini sebagai pamer berlebihan yang menjadikan seragam sebagai status simbol, bukan amanah. "Yang penting seragamnya, bukan tanggung jawab di baliknya," kata seorang komentator di medsos. Mirisnya, kita seperti hidup dalam masyarakat yang lebih menghormati seragam yang dikenakan daripada isi kepalanya.

Padahal, negara dengan sistem meritokrasi yang masih banyak perlu dibenahi seperti Indonesia ini, dimana fenomena titipan, nepo-baby, uang bawah tangan, perekrutan dalam tes masuk yang sering dikritik banyak penyimpangan, sebut saja misal: banyak anak-anak yang bermimpi menjadi praja di IP.. perlu menyiapkan uang 500jutaan atau lebih sebagai pelicin agar lulus. Itu kita bicara soal fenomena seribu cara agar lulus dengan cara belakang, belum ketika berhadapan dengan birokrasi indonesia yang menurut survey LSI: 

Sumber: detik: kutipan LSI

3. Mengapa Fenomena Ini Terjadi?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline