Pertanyaannya: mengapa anak-anak muda berlomba memamerkan seragam dan gestur militeristik seolah itu definisi utama dari sukses? Mungkin ini bukan sekadar tren medsos. Ini adalah cerminan nilai baru yang kita bangun diam-diam. Ketika seragam dianggap sebagai pencapaian, dan tidak ada cukup narasi tandingan yang menekankan bahwa integritas lebih mulia daripada kostum, maka viral-lah "NaNuNa".
Bisa jadi juga, gejala opotunistik sudah mengakar pada generasi masa depan bangsa kita. Memilih jalan aman sebagai jalan atas ketakutan masa depan. Takut akan miskin kalau bukan jadi abdi negara, takut berusaha, takut tidak hidup layak, akhirnya pilih saja cara dan tempat yang sudah terjamin bahkan dengan cara apapun. Nah itu masalahnya: andai memang itu hasil dari prestasi tidak masalah. Boleh saja.
4. Seragam sebagai identitas kekuasaan dan kejayaan.
Masuk akal pula bilamana pandangan generasi bangsa yang terpola dari warisan budaya feodal dan militeristik sehingga berseragam dinas disalah artikan sebagai satu-satunya jalan mencapai kebanggaan: harga diri keluarga agar dihormati layaknya bangsawan jaman lampau. Tidak itu saja, ada lagi motif yang menyertai: kemudahan dalam berurusan, akses khusus ke lini sumber daya kekuasaan dan ekonomi. Akhirnya kekuasaan dan kekayaan mutlak dijadikan sebagai tolok ukur "kemuliaan" dimata masyarakat
5. Seragam sebagai Kompensasi Sosial dan Psikologis
Fenomena ini juga bisa dilihat sebagai kompensasi sosial dari masyarakat yang frustrasi. Ketika lapangan kerja sempit, bisnis melemah, dan ekonomi kelas menengah tergerus, seragam menjadi lambang stabilitas: penghasilan tetap, status sosial instan, bahkan gengsi keluarga. Daripada berjuang menjadi entrepreneur yang harus jatuh bangun, lebih mudah jadi penyembah lambang. Kita sedang melihat generasi muda yang lebih ingin duduk di balik meja negara, ketimbang menciptakan lapangan kerja sendiri.
Fenomena ini juga lekat dengan feodalisme lama: seragam adalah simbol kekuasaan, dan masyarakat-baik yang memakainya maupun yang melihatnya-masih tunduk pada simbol itu. Negara membiarkan budaya ini tumbuh, mungkin karena nyaman ketika rakyatnya sibuk berkompetisi soal kostum, bukan kompetensi.
6. Apa Kata Sosiologi dan Ahli Psikologi Massa?
Menurut Erich Fromm, sosiolog terkenal: manusia modern lebih tertarik menjadi "seperti orang penting" daripada menjadi penting karena makna dan kontribusinya.
Fenomena ini sangat terasa dalam parade seragam yang viral. Di era citra dan konten, kita lebih sibuk terlihat penting, ketimbang benar-benar penting. Erich Fromm sudah lama mengingatkan lalu hari ini, kita melihatnya dalam parade seragam, hormat tegap, dan gaya viral-yang entah mewakili nilai, atau hanya ambisi pribadi dalam balutan simbol.
Dalam teori psikologi sosial, perilaku pamer simbol identitas terjadi saat individu belum memiliki pencapaian personal yang cukup kuat. Ia menumpang pada simbol kolektif: seragam, institusi, atau jabatan. Profesor Shiv Visvanathan dari India menyebut ini sebagai "institutional narcissism"-narsisme yang dipupuk oleh status, bukan oleh karya. Maka tak heran, saat para taruna atau siswa baru dan mantan siswa melakukan "NaNuNa", itu bukan untuk menunjukkan kesiapan melayani, tapi lebih pada: "Lihat ! Aku elite sekarang!"