Awan hitam terlihat menggelayut berat di langit, tanda sebentar lagi hujan besar akan mengguyur bumi. Gemuruh suara guntur yang bersahutan menambah suasana tengah hari ini jadi terasa suram. Padahal beberapa waktu yang lalu cuaca cukup terik.
Kulihat beberapa meter di depanku, Mang Karim dan Mang Ipul masih berusaha menyelesaikan pekerjaan mereka-menebang habis pohon mangga yang ada di halaman belakang rumahku.
Mereka telah bekerja dari pagi hari dengan peralatan sederhana. Mereka menebang batang pohon sedikit demi sedikit, hingga sekarang tinggal menghilangkan bagian tunggulnya.
"Mang, bentar lagi hujan! Istirahat dulu," ujar suamiku yang berdiri di sampingku.
Mendengar itu, Mang Karim dan Mang Ipul berhenti mengayunkan alat yang dipegang tangan mereka dan melihat ke arah kami. Dengan sopan, mereka menolak untuk berhenti karena katanya tanggung.
Kami pun tidak memaksa. Kami mengerti jika mereka mau istirahat setelah satu pohon selesai dikerjakan.
Angin dingin tiba-tiba berhembus, menimbulkan suara gemerisik dedaunan pada pohon sirsak yang juga ada di halaman belakang ini. Tubuhku menggigil, tak luput dari sapuan angin yang menusuk. Spontan kusilangkan kedua tanganku di depan dadaku.
Sama denganku, suamiku juga bergidik kedinginan. "Kita masuk aja, yok," ajaknya sambil membalikkan badan dan berjalan masuk ke dalam rumah. Tapi, aku masih ingin tetap berdiri di ambang pintu.
Kedua mataku lalu tertuju pada tunggul pohon yang sedang berusaha dicongkel oleh Mang Karim dan Mang Ipul. Ah, betapa malangnya pohon mangga itu.
Aku jadi teringat pada Oma Rani, pemilik sebelumnya dari rumah yang kami tempati ini. Dulu aku ngontrak rumah persis di samping kanan rumah ini.
Oma Rani adalah tetangga yang ramah, perhatian, dan baik hati. Dia tinggal sendiri di rumahnya.