Dana Desa, yang diluncurkan pada tahun 2015, merupakan salah satu kebijakan fiskal terbesar dalam sejarah Indonesia yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan desa dan mengurangi kesenjangan antara desa dan kota.
Namun, meskipun dana tersebut memiliki potensi besar untuk mendorong pembangunan desa, perjalanan sejarahnya tidak lepas dari masalah serius, yakni korupsi dan praktik pemburu rente (rent-seeking) yang terus berulang.
Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi perjalanan Dana Desa, mengaitkannya dengan fenomena korupsi dan pemburu rente, serta capaian-capaian apa saja yang menyertainya.
Sejarah Dana Desa
Program Dana Desa dimulai pada tahun 2015 dengan tujuan utama untuk mempercepat pembangunan di wilayah pedesaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
Pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan landasan hukum bagi alokasi anggaran Dana Desa yang langsung ditransfer ke desa-desa, tanpa melalui intervensi pemerintah daerah.
Setiap desa kemudian diberikan anggaran yang dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, serta penguatan kapasitas lembaga desa.
Pada tahun pertama implementasi Dana Desa, pemerintah mencairkan anggaran sebesar Rp20,76 triliun, yang dialokasikan untuk sekitar 74.093 desa.
Pada tahun-tahun berikutnya, jumlah anggaran terus meningkat, sedekade 2015-2025 total alokasi dana desa yang telah dicairkan mencapai sekitar Rp468,9 triliun. Mencerminkan komitmen pemerintah dalam mempercepat pembangunan desa.
Namun, di balik angka-angka besar ini, tersimpan masalah serius: korupsi dan penyelewengan dana yang terjadi di tingkat desa.