“Kalau pupuk susah dicari, apa yang bisa kita lakukan?” Pertanyaan sederhana itu kerap terlontar dari para petani setiap musim tanam. Kelangkaan pupuk memang sudah menjadi cerita berulang, mulai dari keterlambatan distribusi, stok yang menipis, hingga harga yang melambung tinggi. Kondisi ini membuat banyak petani resah karena kesuburan lahan sulit terjaga.
Namun, siapa sangka, jawabannya ternyata ada di sekitar mereka sendiri. Akar bambu yang tumbuh subur di Desa Glagahwero menyimpan mikroba baik yang dikenal sebagai Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR). Mikroba ini bisa dipanen dan dimanfaatkan sebagai pupuk hayati untuk menjaga kesehatan tanaman sekaligus mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia.
Alat untuk pemanenan PGPR
Setelah sebelumnya petani mendapat pelatihan pembuatan PGPR, kini kegiatan Promahadesa di Desa Glagahwero berlanjut ke tahap pemanenan. Acara dilaksanakan pada 16 Agustus 2025 di rumah Bapak Adi, ketua kelompok tani Tirtoagung, dan diikuti oleh para petani yang dengan antusias menyaksikan langsung prosesnya.
Pemanenan dilakukan setelah fermentasi berlangsung selama dua minggu. Ciri keberhasilan fermentasi terlihat dari perubahan warna larutan menjadi coklat kekuningan, aroma khas seperti tape, terdapat gelembung, hingga munculnya endapan. PGPR hasil fermentasi kemudian disaring, disimpan dalam wadah bersih, dan siap diaplikasikan pada tanaman padi maupun hortikultura
Pengecekan aroma
Penyaringan pgpr
“Sekarang kami tidak hanya bergantung pada pupuk kimia. Dengan PGPR dari bambu, kami bisa membuat pupuk hayati sendiri yang lebih murah dan ramah lingkungan,” ujar salah satu petani peserta.
PGPR yang dipanen ini diharapkan dapat membantu tanaman menyerap unsur hara lebih baik, mengurangi gejala defisiensi, serta meningkatkan hasil panen. Selain itu, pemanfaatan akar bambu juga membuka peluang baru bagi masyarakat dalam memaksimalkan potensi lokal yang selama ini kurang diperhatikan.
Foto bersama petani