Lihat ke Halaman Asli

pratiwi ismi

Mahasiswa

Dakwah Radikal vs Dakwah Damai: Menimbang Pesan Islam di Media Sosial

Diperbarui: 13 Juni 2025   10:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh: Syamsul Yakin dan Pratiwi Ismi Wardani (Dosen dan Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).


Dakwah, dalam bahasa Arab, berarti seruan atau ajakan. Secara praktis, dakwah adalah upaya menyampaikan pesan Islam kepada umat manusia, baik melalui lisan, tulisan, maupun tindakan. Namun, belakangan muncul istilah "dakwah radikal" yang kerap dipertentangkan dengan "dakwah damai". Apakah kedua istilah ini memang layak dibandingkan? Bagaimana seharusnya umat Islam menyikapi fenomena dakwah radikal di media sosial?
Menurut kajian ilmu dakwah, pesan dakwah bersumber dari Al-Qur'an, hadits, ijtihad ulama, serta kisah-kisah teladan. Metode penyampaiannya pun beragam, mulai dari ceramah, diskusi, hingga pemberdayaan masyarakat. Dakwah sejatinya bertujuan untuk menebar kebaikan, bukan memecah belah.

Namun, istilah "dakwah radikal" justru bertolak belakang dengan esensi dakwah itu sendiri. Radikalisme, secara etimologis, berarti sikap ekstrem yang menolak jalan tengah. Dalam konteks dakwah, radikalisme seringkali diwujudkan dengan cara-cara yang keras, seperti menghakimi, mengkafirkan, atau memprovokasi. Padahal, Islam mengajarkan dakwah dengan hikmah (kebijaksanaan) dan mau'idzah hasanah (nasihat yang baik).


Di era digital, media sosial menjadi sarana dakwah yang efektif. Sayangnya, platform ini juga dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk menyebarkan paham ekstrem. Mereka seringkali mengutip ayat Al-Qur'an dan hadits secara fragmentatif untuk membenarkan tindakan mereka. Sebagaimana dikatakan oleh John L. Esposito, kelompok ini "membajak Islam" untuk tujuan-tujuan yang tidak suci.

Menurut Bernard Lewis, kelompok radikal mengklaim diri sebagai representasi Islam paling murni. Mereka menolak pandangan ulama arus utama seperti Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah yang lebih mengedepankan pendekatan substantif dan transformatif. Klaim kebenaran sepihak inilah yang kemudian menimbulkan kesalahpahaman tentang konsep khilafah, jihad, dan hakimiyah.


Lantas, bagaimana melawan dakwah radikal di media sosial? Teori "jarum hipodermik" David K. Berlo menggambarkan pesan radikal seperti peluru yang menyusup ke pikiran khalayak. Untuk menangkalnya, diperlukan konten dakwah damai yang lebih menarik dan berbobot.

Teori "uses and gratifications" juga menegaskan bahwa khalayak media bersifat aktif. Mereka akan memilih konten yang memenuhi kebutuhan spiritual dan intelektual mereka. Oleh karena itu, para dai dan aktivis dakwah harus kreatif menghasilkan konten moderat, seperti dakwah akhlakul karimah, kisah inspiratif, atau kajian ilmiah yang mendalam.

Dakwah radikal bukanlah representasi Islam yang sebenarnya. Islam mengajarkan kedamaian, toleransi, dan kebijaksanaan. Di media sosial, umat Islam harus aktif menyebarkan konten-konten positif untuk melawan narasi radikal. Dengan begitu, khalayak akan memiliki pilihan yang lebih berimbang dan dapat mengambil keputusan berdasarkan pemahaman yang utuh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline