Lihat ke Halaman Asli

Prahasto Wahju Pamungkas

Advokat, Akademisi, Penerjemah Tersumpah Multi Bahasa (Belanda, Inggris, Perancis dan Indonesia)

Netanyahu Tegaskan Kekaisaran Ottoman Tak akan Kembali

Diperbarui: 21 Juni 2025   06:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu & Presiden Turki, Recep Tayypi Erdogan (Sumber/Kredit Foto: VOA Indonesia)

Dalam pidatonya di Knesset (Parlemen Israel) pada tanggal 11 Juni 2025, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa "Kekaisaran Ottoman tidak akan kembali", sebuah komentar yang ditujukan secara terbuka kepada Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

Pernyataan ini mencerminkan ketegangan geopolitik antara Israel dan Turki terkait ambisi regional neo-Utsmaniyah. Untuk memahami latar belakangnya, kita perlu menelusuri akar historis pasca-Perang Dunia I, perkembangan politik Turki modern, dan hubungan diplomatik saat ini yang sedang diuji oleh konflik Timur Tengah.

Bayang-bayang Kekaisaran Ottoman dan Neo-Ottomanisme Erdogan

Saat Perdana Menteri Netanyahu mengatakan bahwa Kekaisaran Ottoman tidak akan kembali, ia mengacu pada perkembangan yang dikenal sebagai neo Ottomanisme (neo-Utsmaniyah), paket kebijakan Turki di bawah Presiden Erdogan yang menekankan kebanggaan sejarah Ottoman dan upaya memperluas pengaruh di Timur Tengah, Afrika Utara, bahkan Balkan.

Kekaisaran Ottoman (Sumber/Kredit Foto: Muhammadi Site)

Presiden Erdogan menghidupkan simbol-simbol masa Ottoman, seperti Hagia Sophia, dan menghidupkan retorika bahwa Turki adalah "keturunan Utsmaniyah", strategi ini digunakan untuk membangun citra sebagai kekuatan Islam yang kembali dominan.

Neo-Utsmaniyah atau Neo-Ottomanism adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kebijakan luar negeri Turki modern di bawah kepemimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan, yang dinilai menghidupkan kembali semangat imperialisme dan pengaruh Kekaisaran Ottoman (Utsmaniyah) dalam bentuk baru yang beradaptasi dengan geopolitik kontemporer.

Meski tidak secara eksplisit ingin membangun kembali kekaisaran, kebijakan ini mengandung nuansa simbolik dan politis yang mengarah pada dominasi regional, khususnya di kawasan Timur Tengah, Balkan, Afrika Utara, dan Asia Tengah, wilayah yang dulunya berada di bawah kendali Kesultanan Ottoman selama ratusan tahun.

Di bawah pemerintahan Erdogan sejak awal 2000-an, Turki mulai meningkatkan keterlibatan aktif dalam konflik dan diplomasi kawasan. Langkah ini meliputi dukungan terhadap kelompok tertentu di Suriah, keterlibatan militer di Libya dan Azerbaijan, serta hubungan ekonomi dan pertahanan yang diperluas dengan negara-negara Muslim lainnya.

Presiden Erdogan juga menghidupkan kembali simbol-simbol budaya dan agama yang terkait erat dengan era Ottoman, seperti mengubah kembali Hagia Sophia menjadi masjid pada 2020, menyelenggarakan parade militer dengan pakaian kesultanan, dan menggunakan narasi sejarah Islam dalam pidato-pidatonya.

Penulis di Hagia Sophia (saat masih museum), 2 Januari 2018 (Dokumentasi Pribadi)

Catatan: Hagia Sophia dibangun pertama kali di era Kekaisaran Byzantium pada tahun 532 Masehi, dan pembangunannya selesai tahun 537 Masehi. Selama hampir 1000 (seribu) tahun, Hagia Sophia berfungsi sebagai gereja dalam pemerintahan para Kaisar Byzantium: Gereja Kekaisaran (537-1054), Katedral Orthodox Yunani (1054-1204, 1261-1453), Katedral Katolik Roma (1204-1261), hingga jatuhnya Kekaisaran Byzatium dan wilayahnya jatuh ke tangan keluarga Osmani (Kekaisaran Ottoman). Kemudian Hagia Sophia beralih fungsi menjadi masjid (1453-1931), dan setelah Turki menjadi republik, di bawah Presiden Mustafa Kemal Ataturk, Hagia Sophia beralih fungsi menjadi museum (1935-2020) dan di bawah Presiden Erdogan, beralih fungsi menjadi masjid kembali (2020-sekarang).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline