Program Makan Bergizi Gratis (MBG) lahir dengan niat mulia: memastikan setiap anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang layak di sekolah. Namun, realita di lapangan justru menimbulkan pertanyaan besar. Hingga akhir September 2025, jumlah korban keracunan akibat program ini terus bertambah, dengan data bervariasi dari berbagai lembaga: Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat 4.711 kasus, CISDI menemukan 5.626 korban, dan JPPI bahkan melaporkan 6.452 anak terdampak. Angka ini tentu mengkhawatirkan, terlebih jika mengingat bahwa yang menjadi korban adalah anak-anak, generasi yang seharusnya dilindungi.
Pertanyaannya, mengapa bisa sampai terjadi? Bukankah konsep gizi seimbang sudah lama dikenal, dan orang tua pun secara naluriah memahami apa yang baik bagi anak-anaknya? Tidak berlebihan jika muncul wacana: alangkah lebih aman bila dana MBG langsung diberikan kepada orang tua siswa. Orang tua adalah pihak yang paling tahu selera, kebutuhan, dan kondisi kesehatan anaknya. Mustahil ada orang tua yang sengaja memberikan gizi buruk pada buah hatinya. Dengan sistem ini, potensi keracunan massal bisa ditekan, karena konsumsi anak kembali ke lingkup rumah tangga yang sudah terbiasa dengan pola masak sehari-hari.
Masalah utama MBG justru ada pada kontroling dan pengawasan. Program ini terkesan dipaksakan berjalan dalam skala nasional tanpa kesiapan yang memadai. Banyak dapur umum tidak terbiasa memasak untuk ribuan porsi sekaligus, standar kebersihan kurang, bahkan pasokan bahan baku sering berpindah tangan tanpa proses kontrol ketat. Alhasil, rantai distribusi pangan menjadi rapuh dan rawan kontaminasi.
Di sinilah letak pertanyaan kritis: apakah MBG memang sudah matang ketika diluncurkan? Ataukah anak-anak Indonesia sedang dijadikan ajang uji coba kebijakan? Kasus keracunan yang berulang menunjukkan bahwa manajemen risiko belum benar-benar diperhitungkan. Alih-alih menyehatkan, program ini justru menimbulkan kondisi darurat kesehatan.
Jika tujuannya adalah memastikan gizi anak terpenuhi, maka kebijakan harus menempatkan keselamatan sebagai prioritas. Pemerintah bisa menempuh jalan lain: memperkuat edukasi gizi pada keluarga, memberi dana langsung yang terkontrol penggunaannya, atau menggandeng koperasi sekolah yang dikelola secara transparan oleh orang tua, guru, dan pihak independen.
Niat mulia tidak boleh mengorbankan nyawa, apalagi masa depan. Karena anak-anak bukan angka dalam laporan program, melainkan harapan bangsa yang seharusnya dijaga dengan sepenuh hati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI