Lihat ke Halaman Asli

Perdhana Ari Sudewo

Pemulung Ilmu

Birokrasi dan Mimpi Kolektif Indonesia

Diperbarui: 20 Juni 2025   04:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar dikreasikan oleh AI

Ketika Surat Pengantar Lebih Berat dari Candi Borobudur

Pernahkah Anda mengurus surat keterangan tidak mampu dan merasa seperti sedang memohon audiensi kepada raja? Atau bertanya-tanya mengapa sebuah stempel masih memiliki kekuatan magis di kantor kelurahan? Seperti wayang yang digerakkan oleh dalang tak terlihat, birokrasi kita ternyata digerakkan oleh kekuatan psikologis yang telah berusia ratusan tahun.

Mari kita telusuri perjalanan panjang ini melalui kisah simbolik berikut:

  • Kisah Panembahan Senopati (pendiri Mataram) yang konon mendapat wahyu kekuasaan di Pantai Selatan. Kini, setiap pejabat baru seolah perlu "wahyu" berupa pengesahan dari atasan, dan bahkan oleh "sesuatu yang tak nampak", bukan kompetensi.
  • Kisah Daendels yang membangun Jalan Raya Pos dengan kerja paksa. Proyek mercusuarnya kini berubah bentuk menjadi proyek-proyek tidak tepat guna, terkadang fiktif yang mengorbankan rakyat atas nama pembangunan dan pencitraan.

Warisan Kerajaan: Tahta dalam Ruang Kerja Pejabat

Di kantor bupati di sebuah kabupaten, terdapat kursi khusus yang hanya boleh diduduki bupati. Staf harus berdiri ketika melapor, persis seperti ritual keraton abad ke-17. Ini bukan sekadar tradisi, tapi manifestasi arketipe "Raja Selaku Tuhan" yang masih hidup.

Contohnya seorang kepala dinas menyebut dirinya "raja kecil" wilayahnya, atau bahasa birokrasi kita masih menggunakan tingkatan seperti "krama inggil" (bahasa Jawa halus) dalam bentuk modern, "dengan ini diberitahukan sebagaimana mestinya"

Kondisi tersebut memberikan efek psikologis dimana masyarakat masih memandang pejabat seperti "gusti" (tuan), inovasi dibunuh oleh budaya "sungkan", dan kekuasaan bersifat personal, bukan institusional.

Warisan Kolonial: Birokrasi sebagai Mesin Penindas

Penjajah menciptakan sistem yang dirancang untuk mengontrol (buku tanah, surat jalan), mengeksploitasi (cultuurstelsel), dan memecah belah (politik etis). Kalau kita lihat saat ini, terdapat kondisi yang "mirip" tetapi beda bentuknya saja, seperti proses berbelit untuk surat-menyurat, kadang harus menggunakan "pelicin", mentalitas "yang penting tuan senang", dan juga birokrasi sebagai alat kekuasaan, bukan pelayanan. Kita mungkin sudah biasa mendengar atau malah melihatnya langsung, bagaimana bertingkatnya dan juga kompleksnya pelayanan birokrasi kita, dan terkadang membutuhkan waktu yang lama. Sebuah prosedur yang tidak jauh berbeda dengan zaman cultuurstelsel.

Orde Baru: Ketika PNS Menjadi Tentara Tanpa Senjata

Di masa orge baru, kita melihat militerisasi birokrasi, kita mengenal juga istilah dwi fungsi ABRI. Seragam PNS mirip militer, disiplin berarti patuh buta, serta KKN dilembagakan sebagai "uang rokok". Kini kita melihat warisan psikologisnya, seperti takut mengambil keputusan, menunggu arahan atasan, berinovasi berarti mengambil risiko, dan juga loyalitas lebih penting dibanding kompetensi. Cerita-cerita seperti: "Dulu kami selalu menyisihkan 30% anggaran untuk atasan. Itu dianggap normal, seperti menyajikan sirih untuk raja di zaman dulu." sudah biasa kita dengar di obrolan warung kopi. Mungkin beberapa tampil dengan diksi yang berbeda tetapi sama maknanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline