Dalam perjalanan pertumbuhan sosial yang panjang, media massa semakin memainkan peran penting dalam membentuk pandangan masyarakat terhadap dunia. Di balik dominasinya sebagai penyampai informasi, media massa sering juga menjadi subjek kritik oleh beberapa tokoh kritis yang meragukan peran dan dampak kepada masyarakat modern.Kehadiran media sosial telah mengubah cara kita berkomunikasi dan bagaimana mendapatkan informasi secara drastis. kini kita berada di era postmodernisme dan era budaya maya, di mana kemunculan media sosial telah berperan sebagai pemaknaan bersosialisasi dan membentuk relasi dalam hubungan masyarakat modern. Kita telah menyaksikan media sosial menggantikan peran sosial di dalam kehidupan nyata. Peran media berubah menjadi pendidik dan membantu memberikan solusi di dunia realitas tanpa batas. Namun ini adalah situasi yang sedang dibicarakan secara penting oleh orang tua dan lembaga pendidikan di masyarakat.Post-modernisme meyakini bahwa realitas adalah konstruksi sosial yang terkait erat dengan konteks budaya dan sejarah tertentu. Dengan media sosial, konsep ini semakin terang karena konten tergantung pada individu dan komunitas di belakangnya. Di platform seperti Instagram atau Tiktok, setiap individu bisa membuat "realitas" sendiri yang tidak selalu mencerminkan kebenaran objektif, namun tetap menarik bagi pengikut mereka.
Dapat kita amati secara langsung bahwa anak-anak dari sekolah dasar hingga mahasiswa telah terbiasa hidup konsumtif dan sangat mudah dalam memiliki smartphone berspesifikasi tinggi sehingga terbiasa hidup dengan gaya kapitalis. misalnya ibu-ibu yang berada di lingkungan yang mengaku berhijab. Hal ini terlihat dari postingan selfie di media sosial yang tidak mencerminkan cara hidup seorang muslimah yang baik. Mereka telah terjebak dalam ideologi yang tidak lagi murni, melainkan ideologi yang dianut dan dikonstruksikan oleh para kapitalis yang cenderung materialistis. Hal tersebut hanya memamerkan gaya hidup glamor.
Namun, dalam konteks ini, kita perlu berhati-hati. Dengan menolak otoritas kebenaran tunggal, post-modernisme membuka pintu untuk penyebaran disinformasi dan hoaks, karena tidak ada standar objektif yang diakui secara luas. Inilah tantangan yang dihadapi oleh masyarakat digital: bagaimana memadukan kebebasan berpendapat dan kebutuhan atas informasi yang dapat dipercaya?
Kemunculan media sosial mencerminkan pluralitas dan relativisme dalam post-modernisme, meskipun menawarkan peluang, demokratisasi informasi, ia juga menghadirkan tantangan dalam bentuk fragmentasi kebenaran dan polarisasi sosial. Untuk bisa berkembang, kita perlu belajar cara menghadapi dunia digital yang penuh dengan realitas beragam, sambil tetap memastikan kita memiliki kerangka untuk menilai kebenaran dan keadilan dalam komunikasi.
Ada banyak penelitian yang menyoroti anak muda yang hidup tinggal kesendirian dan terdampak di era digital. Kemudahan akses informasi saat ini dikarenakan orang tua yang sibuk dengan peran sosial mereka. Anak-anak dan remaja juga terlibat dalam peran, bergabung dengan dunia maya masyarakat yang sangat berbahaya, menakutkan, dan menyesatkan. Mereka bergabung dan memberikan komentar yang hanya menggambarkan tiruan dan kebohongan. Mereka terperangkap dalam dunia virtual yang diciptakan oleh internet, mereka sering membohongi dan menciptakan cerita atau menampilkan diri dengan cara yang sangat berbeda dari kenyataan.
Informasi penting disajikan secara kronologis
Media sosial adalah alat yang biasa dipakai untuk mewujudkan area yang tidak dapat dibedakan antara 'kehidupan palsu' dan 'kehidupan nyata' dan kebenaran yang dianggap mutlak benar. Masyarakat di dalam negara atau kelompok dalam negara mungkin mengalami penurunan kualitas berpikir. Perilaku generasi milenium dipengaruhi oleh komunikasi global dan kemajuan teknologi. Hal ini menarik untuk dianalisis dengan teori postmodernisme. Kierkegaard (2010) menjelaskan masyarakat modern sebagai jaringan hubungan, di mana individu dilepaskan ke dalam abstrak yang disebut "publik". Masalah ini menarik untuk dipelajari dalam hal konstruksi realitas di media sosial dengan pendekatan postmodernis.
Post-modernisme meyakini bahwa realitas merupakan hasil dari konstruksi sosial yang terkait erat dengan konteks budaya dan sejarah tertentu. Dengan adanya media sosial, konsep ini semakin terbukti, karena konten yang dihasilkan sangat bergantung pada individu dan komunitas yang membuatnya. Di platform seperti Instagram atau Tiktok, setiap orang dapat membangun "realitas" mereka sendiri yang mungkin tidak mencerminkan kebenaran objektif, tetapi tetap relevan bagi audiens mereka, Namun, dalam konteks ini, kita perlu berhati-hati. Dengan menolak otoritas kebenaran tunggal, post-modernisme membuka pintu untuk penyebaran disinformasi dan hoaks, karena tidak ada standar objektif yang diakui secara luas. Berikut adalah dilema yang dihadapi oleh masyarakat digital saat ini: bagaimana menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan kebutuhan akan fakta yang dapat diandalkan?
Media sosial mencerminkan sifat pluralitas dan relativisme dalam post-modernisme. Meskipun menawarkan peluang demokratisasi informasi, ia juga memunculkan tantangan dalam bentuk fragmentasi kebenaran dan polarisasi sosial. Untuk berkembang, kita perlu belajar cara menghadapi dunia digital yang penuh dengan realitas yang beragam, sambil tetap mempertahankan kerangka penilaian terhadap kebenaran dan keadilan dalam berkomunikasi.
Referensi:
1. Baudrillard, Jean. Simulacra and Simulation. University of Michigan Press, 1981.
2. Lyotard, Jean-Franois. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. University of Minnesota Press, 1979.
3. Zuboff, Shoshana. The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power. PublicAffairs, 2019.
4. Kierkegaard, S. (2010). The present age: On the death of rebellion.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI