"Peran Hukum dalam Menjaga Keseimbangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah"
Oleh: NURIKHWAN NUSANTARA
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang dibangun di atas semangat kebhinekaan dan semangat persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan wilayah yang sangat luas dan beragam, baik dari segi budaya, adat istiadat, sumber daya alam, maupun kondisi geografis, Indonesia memerlukan sebuah sistem pemerintahan yang mampu mengakomodasi kepentingan nasional dan kebutuhan daerah secara proporsional. Salah satu bentuknya adalah penerapan sistem desentralisasi melalui otonomi daerah yang secara konstitusional diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam kerangka desentralisasi, pemerintah pusat memberikan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan di wilayahnya masing-masing, sesuai dengan prinsip otonomi daerah dan tugas pembantuan. Namun, dalam implementasinya, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah tidak selalu berjalan mulus. Kerap terjadi ketegangan, ketidakseimbangan kewenangan, serta tumpang tindih regulasi yang menimbulkan disharmoni dalam pelaksanaan pemerintahan.
Di sinilah hukum memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan antara pemerintah pusat dan daerah. Hukum berfungsi sebagai instrumen untuk mengatur hubungan antarlembaga pemerintahan agar berjalan sesuai dengan prinsip konstitusi, prinsip desentralisasi, dan prinsip keadilan. Sebagai mahasiswa hukum, saya memandang bahwa keberadaan norma hukum tidak hanya sekadar membagi kewenangan secara formal, tetapi juga harus mampu menjadi sarana penyelesaian konflik, pengatur dinamika hubungan antarpemerintahan, dan sekaligus menjadi pengawal agar pelaksanaan pemerintahan daerah tetap dalam koridor NKRI.
Isi
Dalam konteks pemerintahan daerah, hukum memiliki peran yang sangat strategis sebagai instrumen pengatur hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hubungan ini harus berjalan secara proporsional, harmonis, dan saling melengkapi agar prinsip desentralisasi yang diamanatkan dalam konstitusi benar-benar dapat diwujudkan. Sayangnya, dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, ketegangan antara pusat dan daerah kerap muncul akibat ketidakseimbangan kewenangan dan tumpang tindih regulasi. Hukum, yang seharusnya menjadi alat pembagi dan pengatur kewenangan, terkadang justru menjadi sumber konflik karena perumusan norma yang tidak tegas dan konsisten.
Pada awalnya, semangat otonomi daerah yang lahir pasca reformasi 1998 menjadi angin segar bagi daerah untuk lebih leluasa mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Berbagai kewenangan yang sebelumnya tersentral di pemerintah pusat mulai diserahkan kepada daerah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelayanan publik. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, beberapa regulasi yang lahir pascareformasi justru menarik kembali kewenangan tersebut ke pemerintah pusat. Contoh nyata dapat dilihat dalam pengelolaan pertambangan, yang sebelumnya diatur melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 yang menyerahkan hampir seluruh kewenangan perizinan dan pengawasan pertambangan kembali ke pusat. Kondisi ini tentu menimbulkan ketegangan, karena pemerintah daerah merasa dipangkas haknya untuk mengelola potensi wilayahnya sendiri.
Selain dalam aspek kewenangan, ketidakseimbangan juga terlihat pada mekanisme pengawasan. Selama ini, pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintah daerah. Sayangnya, fungsi ini lebih banyak dijalankan secara represif daripada preventif. Pemerintah pusat kerap membatalkan peraturan daerah atau kebijakan kepala daerah yang dianggap bertentangan dengan kepentingan nasional atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Misalnya, pada tahun 2016, pemerintah pusat membatalkan lebih dari 3.000 peraturan daerah yang dinilai menghambat investasi dan bertentangan dengan kebijakan nasional. Meskipun langkah ini bertujuan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, namun dari sisi pelaksanaan, pembatalan massal tersebut dilakukan tanpa mekanisme dialog yang adil dan transparan dengan pemerintah daerah.