Pagi ini, Posyandu Kakak Tua tampak lebih ramai dari biasanya. Anak-anak datang digandeng ibunya, sebagian remaja putri ikut duduk di bangku plastik, menunggu giliran. Tak hanya timbang badan dan imunisasi. Hari itu, ada dua kegiatan yang diam-diam menyentuh hal besar: penyuluhan kecacingan dan pemeriksaan hemoglobin (Hb).
Cacing: Kecil, Tapi Menghisap Banyak
Bagi sebagian warga, cacing hanyalah penyakit masa kecil. Dianggap sepele, "asal rajin makan, sembuh sendiri." Tapi data berkata lain.
Penelitian di Aceh Tengah tahun 2018 mencatat, 15,1% ibu hamil mengalami kecacingan. Di Jakarta, riset tahun 2020 mencatat 18,7% anak SD terinfeksi cacing usus. Sebagian besar dari mereka juga mengalami anemia ringan hingga sedang (Hb < 11,5 g/dL).
Tanah dan Air yang Menyimpan Telur
Cacing tidak datang dari langit. Ia menyebar lewat tanah dan air yang tercemar feses. Di beberapa rumah, jamban masih menjadi barang mewah. Bahkan, ada anak-anak yang biasa buang air besar di belakang rumah, lalu main di tanah itu keesokan harinya. Belum lagi masalah kotoran binatang.
Penelitian di Pulau Samosir tahun 2023 menunjukkan, walau akses air bersih cukup baik, prevalensi cacing masih mencapai 4,8--5,9%. Artinya, sanitasi dan musim juga berpengaruh.
Hb Rendah, Semangat Turun
Tapi pemberian tablet tambah darah saja tak cukup. Jika penyebabnya adalah cacing, maka zat besi akan terus "dicuri." Itulah sebabnya edukasi soal minum obat cacing rutin jadi penting. WHO bahkan merekomendasikan deworming tiap 6 bulan di wilayah endemis.
Solusi yang Tidak Mahal
Setelah penyuluhan, beberapa warga mulai bertanya:
"Kalau pakai sandal waktu ke belakang rumah, itu membantu ya?"
"Air galon juga bisa kena cacing?"
"Kalau anak suka main pasir di depan rumah, harus bagaimana?"