Cerita Mudik: Antara Angka dan Rasa
Setiap tahun, menjelang Lebaran, jutaan perantau di Indonesia menghadapi dilema yang sama: harga tiket yang melambung atau harga hati yang tak ternilai.
Bagi mereka, pulang ke kampung halaman bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan emosional yang penuh makna. Saya sendiri sudah 15 tahun melakukan perjalanan mudik dengan kereta api. Setiap kali, ada cerita baru, ada perjuangan, ada rindu yang selalu sama.
Namun, di balik kemeriahan mudik, ada kisah perjuangan yang sering terlewat. Ada yang rela mengantre sejak subuh demi mendapatkan tiket, ada yang harus menyisihkan gaji berbulan-bulan, bahkan tak sedikit yang rela menggadaikan barang demi bisa pulang ke kampung halaman.
Berburu Tiket: Perjuangan yang Tak Pernah Usai
Dulu, mendapatkan tiket kereta api bukan perkara mudah. Saya masih ingat betapa harus antre panjang di loket, bersaing dengan ratusan orang lain yang memiliki tujuan sama.
Kini, sistem sudah serba digital, namun drama berburu tiket tetap ada. Tiket bisa habis dalam hitungan menit, terutama untuk rute favorit seperti Jakarta-Surabaya, Jakarta-Tasikmalaya, atau Yogyakarta-Solo.
Banyak pemudik harus putar otak: mencari alternatif perjalanan, berburu tiket promo, atau bahkan memilih jalur darat yang lebih murah meski lebih lama.
Bagi mereka, harga tiket yang mahal bukan penghalang, karena ada harga hati yang jauh lebih besar: keinginan untuk berkumpul dengan keluarga.
Ketika Pulang Menjadi Sebuah Perjuangan
Mudik bukan sekadar perjalanan, tetapi juga pengorbanan. Beberapa teman saya memilih bekerja lembur demi bisa mengumpulkan cukup uang untuk pulang.