Bayangan Ketimpangan dalam Kewarganegaraan Kita
Kewarganegaraan sering kali dipahami sebatas identitas formal --- KTP, hak memilih, atau kewajiban membayar pajak. Namun, sejatinya kewarganegaraan adalah gagasan sosial yang lebih luas. Ia mencerminkan bagaimana seseorang diakui, dihargai, dan diberi ruang dalam tatanan masyarakat.
Sayangnya, di tengah ketimpangan sosial dan ekonomi yang kian nyata, makna kewarganegaraan itu mulai kabur. Hak-hak sosial dan kesetaraan yang dijanjikan negara sering kali hanya menjadi simbol tanpa substansi. Dalam konteks inilah, pemikiran Thomas H. Marshall dan Bryan S. Turner menjadi penting untuk kita telaah kembali.
Keduanya menawarkan pandangan yang saling melengkapi: Marshall berbicara tentang struktur hak dan kesetaraan sosial, sementara Turner menyoroti pentingnya identitas dan keragaman dalam konsep kewarganegaraan modern.
Marshall: Janji Hak Sosial sebagai Fondasi Kewarganegaraan
Bagi Thomas H. Marshall, kewarganegaraan tidak hanya berarti status hukum, tetapi juga sistem hak yang meliputi:
Hak sipil -- kebebasan individu seperti berbicara, beragama, dan memiliki properti.
Hak politik -- partisipasi dalam pemerintahan seperti memilih dan dipilih.
Hak sosial -- hak untuk menikmati kesejahteraan, pendidikan, dan keamanan sosial.
Marshall percaya bahwa hak sosial adalah puncak kewarganegaraan modern karena menjadi jembatan untuk mengurangi ketimpangan sosial.
Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa hak sosial belum dinikmati secara merata. Di kota besar, layanan pendidikan dan kesehatan relatif baik, sedangkan di daerah terpencil masih banyak warga yang harus menempuh jarak jauh untuk mendapatkan pelayanan dasar.