Persetujuan presiden untuk menerapkan BBM campuran etanol 10% (E10) memang terpuji buati lingkungan, tapi jangan sampe bikin green transition shock di masyarakat
Belakangan ini, urusan per bahan bakar an di Indonesia terus dihebohkan, mulai dari BBM oplosan, kebijakan impor satu pintu, sampai yang teranyar mandatori kebijakan BBM E10.
Menurut sang menteri ESDM, Bahlil Lahadalia kebijakan ini ini menjadi cara jitu agar Indonesia mengurangi ketergantungan sama impor. Tempo dasawarsa ini, memang kepedulian untuk mengurangi emisi bahan bakar fosil jadi tren global yang terus naik. Tapi, yang sekarang bikin heboh di masyarakat adalah kekhawatiran akan BBM campuran bisa merusak kendaraan mereka, bahkan dikatakan campuran ini lebih cepat habis dibanding BBM biasa.Â
Menurut sang menteri ESDM, Bahlil Lahadalia kebijakan ini ini menjadi cara jitu agar Indonesia mengurangi ketergantungan sama impor. Tempo dasawarsa ini, memang kepedulian untuk mengurangi emisi bahan bakar fosil jadi tren global yang terus naik. Tapi, yang sekarang bikin heboh di masyarakat adalah kekhawatiran akan BBM campuran bisa merusak kendaraan mereka, bahkan dikatakan campuran ini lebih cepat habis dibanding BBM biasa.Â
Apakah kebijakan cukup tepat sekarang? atau justru maksain? Jika bicara soal lingkungan, tentu kebijakan ini sungguh terpuji, karena Indonesia bisa mengejar ketertinggalannya dari negara asia tenggara lain soal transisi hijau. Sebut saja Thailand yang sudah menerapkan kebijakan demikian sejak 2008 lalu. Indonesia akan dipuji di forum internasional, karena kebijakan BBM E10 sudah mencapai level yg cukup tinggi dalam implementasi BBM campuran dibanding negara lain yang bahkan belum menerapkan E5.
Namun, poin penting yang ga bisa diabaikan adalah soal kesiapan infrastruktur hulu ke hilir, informasi kendaraan yang kompatibel, sampai teknologi pengelolaan yang tepat. Thailand sejak tahun 2008 menerapkan kebijakan BBM E10 dengan sangat bertahap biar siap dulu di segala lini, juga dipercaya masyarakat. Penerapan bertahap ini jadi kunci keberlanjutan di Thailand hingga sekarang, bahkan segera ditingkatkan menjadi E20 dalam skala nasional.
Pertanyaannya, apakah Indonesia sudah siap? Melihat kejadian belakangan, penolakan SPBU swasta terkait campuran etanol 3,5% bukan persoalan kualitas belaka, melainkan masalah belum siapnya infrastruktur SPBU swasta dalam mengelola jenis BBM campuran. Kebijakan BBM E5 memang ditargetkan terlaksana pada tahun 2025 ini, tapi implementasinya masih terbatas pada salah satu jenis BBM, yaitu Pertamax green E5 yang itupun masih dalam uji coba di beberapa wilayah saja.Â
Artinya bukan saja SPBU swasta yang belum siap, bahkan SPBU milih Pertamina pun belum mencapai level kesiapan nasional.
PENERAPAN SKALA NASIONAL BUTUH KESIAPAN, BUKAN HANYA DARI PEMERINTAH MELAINKAN JUGA PIHAK SWASTA DAN MASYARAKAT SELAKU KONSUMEN
Agar berhasil, penerapan BBM campuran harus diupayakan transisi sehalus mungkin sehingga tidak menyebabkan shock bagi pihak swasta dan masyarakat.Â
Walaupun mandatori sudah diberikan presiden, pemerintah perlu terlebih dahulu menyakinkan masyarakat akan keamanan BBM campuran ini. Lebih dari 80 persen kendaraan di masyarakat belum jelas informasi soal ketahanan terhadap pemakaian jangka panjang bahan bakar ini. Berkaca dari Thailand, sejak tahun 2008 pemerintah telah mewajibkan produksi kendaraan yang jelas keterangan kompatibelnya terhadap BBM campuran E10. Tak hanya itu, pemerintah bersama produsen kendaraan terus memberikan informasi jenis kendaraan model lama apa saja yang kompatibel, disertai kelebihan dan kekurangan.