Kalau bicara soal manajemen, salah satu fungsi penting yang sering disepelekan tapi justru krusial adalah pengendalian atau controlling. Nah, dalam konteks kenegaraan, fungsi ini gak cuma soal ngecek-ngecek laporan keuangan aja, tapi juga memastikan seluruh sistem berjalan sesuai jalur dan siap dikoreksi kalau melenceng. Menariknya, dua contoh nyata tentang fungsi ini bisa kita lihat dari langkah OJK soal BPR dan laporan APBN terbaru dari Menteri Keuangan Sri Mulyani.
OJK “Nge-Rem” Jumlah BPR demi Kesehatan Sistem Keuangan
Per Maret 2025, jumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Indonesia berkurang 161 unit—dari 1.506 di tahun 2024 jadi tinggal 1.345. Tapi ini bukan berita buruk. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menjelaskan pengurangan ini terjadi karena proses konsolidasi, alias merger demi memperkuat permodalan. Modal inti minimum dinaikkan jadi Rp6 miliar, dari sebelumnya Rp3 miliar.
Artinya, OJK nggak cuma nunggu BPR bermasalah, baru turun tangan. Mereka sudah menerapkan fungsi pengendalian sejak dini: memastikan bahwa lembaga-lembaga keuangan kecil ini punya ketahanan modal yang cukup. Yang menarik, walaupun jumlah BPR menurun, justru total aset meningkat—ini tanda bahwa kualitas lebih penting daripada kuantitas.
OJK juga menyiapkan strategi exit policy yang terukur. Jadi, kalau ada BPR yang nggak sehat, bisa ditutup secara tertib tanpa bikin panik pasar. Ini cara OJK menjaga stabilitas sistem keuangan, sesuai dengan amanat UU P2SK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan). Dalam bahasa manajemen: ini contoh nyata dari controlling—monitoring terus-menerus plus tindakan korektif kalau diperlukan.
APBN Mulai “Merah”, Sri Mulyani Pasang Rem
Sementara itu, dari sisi fiskal, Sri Mulyani baru aja ngumumin kalau APBN per Mei 2025 mengalami defisit Rp21 triliun. Padahal, bulan April masih surplus Rp4,3 triliun. Kalau kamu mikir, “Waduh, ini krisis dong?”, tenang. Ini juga bagian dari mekanisme pengendalian.
Menkeu menjelaskan bahwa penerimaan negara baru 33,1% dari target. Tapi pengeluaran sudah 28,1% dari total pagu. Di sini, pemerintah harus waspada. Makanya, fungsi controlling dilakukan: memantau arus kas negara, menganalisis tren, dan siap melakukan penyesuaian—baik dalam belanja maupun kebijakan fiskal.
Meski begitu, ada kabar baik: keseimbangan primer (selisih antara pendapatan negara dan belanja, tanpa memperhitungkan bunga utang) masih surplus Rp192,1 triliun. Ini artinya, secara struktur, fiskal kita masih cukup sehat—ada ruang untuk bernapas sebelum benar-benar panik mode.
Kenapa Ini Penting?
Dalam manajemen, controlling itu fungsinya buat ngecek: “Apakah semua sudah sesuai rencana? Kalau belum, apa yang harus dibenahi?” Nah, baik OJK maupun Kemenkeu sudah menunjukkan praktik nyata fungsi ini:
OJK memastikan industri BPR makin ramping tapi kuat.
Kemenkeu tetap mengontrol arus keluar-masuk uang negara agar defisit tidak liar.
Dua-duanya melakukan monitoring aktif, membuat kebijakan korektif, dan siap menghadapi skenario terburuk. Mereka nggak nunggu krisis terjadi, tapi udah ancang-ancang dari sekarang.