Ibu kemana kami harus mengadu? Dengarkah ibu bahwa kami sedang tidak baik-baik saja? Ibu kemana lagi kami harus menaruh harap? Tunjukkan kami jalan pulang. Kami sudah tidak punya pengharapan lagi. Kuping siapakah yang bisa mendengarkan gejolak hidup kami? Kepada siapakah kami bersandar? Pimpinan kami berkhianat dengan bersenang-senang di atas penderitaan kami. Kami lelah, kami putus asa, kami bingung, siapakah yang mempu menuntun kami ke jalan kemakmuran? Kepada siapakah kami menaruh kepercayaan? Apakah kepada pemimpin atau kami berjalan sendiri tanpa tahu arah jalan pulang. Kami tersesat ibu, kami menderita, kami lapar, dan kami butuh makan. Anak, istri, orang tua, keluarga kami butuh penghidupan, butuh makan untuk terus bertahan. Kami tidak tahu bagaimana kami mendapatkannya. Semuanya seakan dirampas dan tidak disisakan sedikit untuk kami dapat bertahan, bertahan sekedar menyambung perut yang lapar.
Sulitnya akses terhadap sumber daya pangan dan penghidupan membuat kisah pilu sendiri dalam cerita rakyat yang tak berkesudahan. Mereka hanya ingin didengar, dan ditutun agar dapat sekedar bertahan. Penghidupan yang sudah tak beraturan, memaksa mereka untuk berbuat kecurangan dan kehinaan, ulah dari segelintir aktor, menyakiti hati kami yang sudah terseok berjalan. Siapakah yang harus dipertanyakan? Siapakah yang harus dipersalahkan? Dan siapa yang harus kami mintai pertanggung-jawaban?
Amanah dijadikan mainan, penderitaan kami dijadikan bahan candaan, dan jeritan kami dijadikan paduan suara yang tak lekas mendapat bayaran. Hati kami terus disepelekan, seakan kami hanya boneka yang tak berperan. Sebuah penderitaan nyata yang tak kunjung mendapat jawaban. Ketika kami bersusah payah mendapatkan penghidupan, mereka justru tertawa ria dengan berbagai penghinaan yang dilontarkan. Panggung rakyat disamakan seolah-olah seperti panggung hiburan. Melunturkan segenap kepercayaan yang pernah diberikan.
Kompetensi bukan lagi suatu kemegahan, melainkan hanya sekedar hiasan. Hiasan untuk memperkaya diri yang membuat nir empati. Layaknya Mahabharata yang terulang, dan dipertontonkan, secara nyata tanpa adanya pembelaan dan keadilan. Kapankah kami bisa merasakan namanya kemakmuran di negeri sendiri? Berapa lama lagi kami harus bertahan? Adakah uluran tangan untuk segera menyelesaikan? Atau kami dibiarkan mati, tanpa penjelasan?
Sebuah fenomena yang cukup menjadi konsern bersama bahwa rakyat membutuhkan penjelasan dan jawaban dari setiap pertanyaan yang tak pernah didengarkan. Kami sedang tidak baik-baik saja, kami membutuhkan pertolongan, rakyat membutuhkan jawaban, bukan sekedar janji yang terus melahirkan tragedi. Tragedi yang tidak pernah ada penyelesaian.
Kami membutuhkan orang yang tak hanya kompeten, melainkan seseorang yang mampu mendengar dan menjadi sandaran, seseorang yang tak menganggap tangisan Adalah sebuah kelemahan dan hinaan, kami membutuhkan “pelukan” seorang ibu yang merangkul jiwa. Ibu, kemanakah engkau pergi? Kami saat menderita saat ini. Ibu kami ingin bercerita dan mengadu, pemimpin kami menyakiti kami, melukai hati kami, dan terus memenjarakan kami dalam rasa lapar dan dahaga kasih sayang. Kami kesulitan oleh kekangan yang tak masuk akal, kami terluka dengan candaan yang menghinakan. Kemana kami harus berjalan, Ibu?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI