Dalam beberapa tahun terakhir, tren konsumsi di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan, khususnya di kalangan Generasi Z (Gen-Z), yaitu individu yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 (Wisnubrata, 2021). Meskipun menghadapi tantangan ekonomi global dan lokal, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2024 tercatat sebesar 5,05%, yang lebih rendah dibandingkan dengan 5,17% pada kuartal II 2023. Meskipun angka ini masih jauh dari tanda-tanda resesi, yang secara teknis berarti pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal berturut-turut, konsumsi tersier masyarakat justru mengalami peningkatan (Sahal, 2024), Gen-Z tetap menjadi konsumen aktif yang terhubung erat dengan dunia digital. Salah satu tren yang sedang ramai di kalangan Gen-Z saat ini adalah blind box Pop Mart.
Pop Mart yang didirikan pada tahun 2010 oleh Ning Wang, merupakan perusahaan hiburan budaya trendi terkemuka di Tiongkok. Visi Pop Mart adalah membangun perusahaan hiburan budaya trendi terkemuka di dunia. Saat ini, Pop Mart telah membangun platform operasi komprehensif yang mencakup seluruh rantai industri mainan pop dengan misi merek untuk menyalakan gairah dan menghadirkan kegembiraan. Merek tersebut berpusat pada lima bidang: penemuan desainer global, operasi IP, akses konsumen, promosi budaya mainan pop, serta investasi dan integrasi industri terkait. Pop Mart telah melampaui 250 toko offline dan 1.687 toko robot hingga 30 September 2021. Mereka telah menjangkau 103 kota di seluruh Tiongkok dan 23 negara dan wilayah di luar negeri, termasuk Korea Selatan, Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Kanada, dan Singapura. Lokasi toko global secara bertahap berkembang dan meluas. Pada saat yang sama, merek tersebut secara independen mengembangkan platform sosial mainan trendi paling profesional dalam negeri bernama PAQU, sehingga para penggemar tren memiliki tempat berkumpulnya para penggemar tren. (POPMART 2021).
Produk mereka, yang kerap dijual dalam format 'blind box', memperkenalkan konsep belanja yang serba instan dan penuh kejutan. Menggunakan vending machine modern, pop-up store tematik, dan platform e-commerce, Pop Mart menawarkan pengalaman belanja yang cepat, menyenangkan, dan inovatif, khususnya bagi Gen-Z. Fenomena ini bukan hanya sekadar soal konsumsi. Popmart adalah cerminan dari globalisasi yang memadukan budaya lokal dan global. Produk-produk Pop Mart sering kali terinspirasi dari karakter film, serial televisi, atau game yang populer di seluruh dunia, yang kemudian dikemas ulang dengan sentuhan lokal untuk menyesuaikan preferensi pasar tertentu. Dengan pendekatan ini, Pop Mart tidak hanya menjadi bentuk hiburan modern, tetapi juga ruang baru untuk interaksi sosial melalui barang konsumsi, sekaligus mengundang diskusi mengenai dampaknya pada budaya dan masyarakat.
Budaya Popmart tidak hanya memengaruhi pola konsumsi Masyarakat khususnya Gen- Z, tetapi juga membentuk identitas kolektif. Misalnya, koleksi mainan blind box tidak hanya menjadi benda mati yang dipajang, melainkan juga simbol status sosial, bentuk penghargaan terhadap seni, atau bahkan cara untuk menghilangkan stres melalui aktivitas mengoleksi. Koleksi ini sering kali menjadi bahan pembicaraan di komunitas-komunitas tertentu, menciptakan hubungan sosial yang lebih luas di tengah masyarakat. Budaya ini juga menghadirkan sisi gelap berupa konsumsi berlebihan. Keputusan pembelian mereka banyak dipengaruhi oleh paparan media sosial yang membentuk pola pikir fear of missing out (FOMO), yaitu perasaan khawatir tertinggal dari hal-hal yang dianggap lebih menarik, lebih baik, dan lebih up-to-date (Purwanto, 2024).
Keberlanjutan budaya Popmart sangat ditentukan oleh cara masyarakat memahami dan memanfaatkannya. Jika hanya dilihat sebagai tren konsumsi sesaat, Pop Mart dapat memperburuk masalah lingkungan melalui produksi berlebih dan limbah, sekaligus mendorong homogenisasi budaya yang mengancam keunikan budaya lokal. Namun, jika dikelola dengan bijak, Pop Mart memiliki potensi untuk menjadi media pelestarian dan promosi budaya. Kita sebagai konsumen sebagai penggerak utama, perlu lebih selektif dalam mendukung produk yang ramah lingkungan dan merepresentasikan nilai budaya lokal. Produsen juga harus bertanggung jawab dengan memprioritaskan keberlanjutan melalui material yang ramah lingkungan dan desain yang menghormati budaya lokal. Pemerintah dan komunitas kreatif dapat memfasilitasi kolaborasi antara produsen lokal dan global, menciptakan produk inovatif yang berbasis kearifan lokal.
Sebagai konsumen, kita perlu lebih bijak dalam memilih produk. Mendukung barang yang ramah lingkungan dan merepresentasikan nilai-nilai lokal dapat menjadi langkah kecil namun berdampak besar. Produsen pun diharapkan lebih peduli terhadap keberlanjutan, baik dalam hal material yang digunakan maupun dalam cara mereka memasarkan produk. Pemerintah dan komunitas kreatif juga bisa berperan dengan mendorong kolaborasi antara produsen lokal dan global, menciptakan produk yang inovatif sekaligus relevan secara budaya.
Budaya Popmart adalah potret perubahan sosial, ekonomi, dan budaya di era modern. Fenomena ini menawarkan pengalaman baru dalam konsumsi, tetapi juga mengingatkan kita untuk berpikir lebih kritis tentang dampaknya terhadap budaya, lingkungan, dan pola hidup. Sebagai salah satu Gen-Z, saya percaya bahwa budaya Pop Mart memiliki potensi untuk lebih dari sekadar tren konsumsi. Dengan pendekatan yang bijak dan strategi yang tepat, Pop Mart dapat menjadi alat untuk memperkuat identitas budaya lokal di tengah arus globalisasi. Mari jadikan budaya Popmart sebagai simbol kreativitas, keberlanjutan, dan pelestarian budaya yang dapat menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI